SELAMAT DATANG DIBLOG AHMAD BASUKI

Blog Archive

‎( AL-MA´ÂNIY ) DAN KAJIANNYA


A. Pengertian Balâghah
Ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh para linguis Arab dalam ‎menjelaskan makna balâghah. Secara etimologis balâghah artinya “sampai pada suatu ‎tempat”, sebagaimana dikatakan: ‎‏ ‏
‏" بَلَغَ فُلاَنٌ مُرَادَهُ –إذا وصل إليه-، وَبَلَغَ الرَّكْبُ الْمَدِيْنَةَ –إذا انتهى إليها "‏
‎“Fulan telah mencapai tujuannya dan kendaraan telah sampai kota “‎ ‎.‎
Kata balâghah diambil dari kata “bulûgh” yang berarti “sampai”, seperti :‎
‏" بلغتُ الْمَكَانَ بُلُوْغًا أي وَصَلْتُ إِلَيْهِ "‏
‎“ Saya telah mencapai pada suatu tempat “‎ ‎.‎
Kemudian kata ini mengalami perubahan; semulanya mengacu kepada makna yang ‎konkrit (dunia nyata) kemudian kepada makna metafora, sehingga tercakup dalam banyak ‎makna ‎ . Bukan hanya bermakna sampai pada suatu tempat, tetapi juga bisa diartikan ‎seseorang yang telah berhasil menyampaikan suatu makna dengan ungkapan yang bagus.‎
Secara terminologis, kata balâghah berarti:‎
‏" وَضْعُ الْكَلاَمِ فِي مَوْضِعِهِ مِنْ طُوْلٍ وَإِيجازٍ، وتأديةُ المعنى أداءً واضحا بعبارةٍ صحيحةٍ فصيحةٍ، لها في ‏النفس أثرٌ خلابٌ، مع ملاءمة كلّ كلام للمقام الذى يقال فيه، وللمخاطبين به ".  ‏

‎ “ Menempatkan perkataan pada tempatnya berupa perkataan panjang atau ‎ringkas, dan menyampaikan makna secara jelas dengan ungkapan yang benar dan ‎fasih, memiliki pengaruh kuat yang memikat hati disertai dengan kesesuaian pada ‎setiap perkataan dengan tempat dimana perkataan tersebut diucapkan dan dengan ‎orang-orang yang diajak berbicara “. ‎

B. Balâghah dan Fasâhah Sebagai Tolok Ukur Sastra
Secara historis, kajian balâghah dalam perkembangannya mengalami dua fase, ‎yaitu; pertama, ketika kata “balâghah” adalah sama dengan kata “fasâhah” menurut para ‎pendahulu dari masa Sibawaîh (w. 180 H.) hingga masa sebelum al-Sakâkiy (w. 626 H.). ‎Pembahasan balâghah pada fase ini masih bercampur dan belum terbagi menjadi tiga ilmu ‎sebagaimana yang dikenal pada saat ini. Terkadang pembahasan ketiga ilmu ini disebut ‎dengan al-badî‘ sebagaimana dikemukakan oleh Ibn al-Mu‘taz, pada waktu lain disebut ‎al-bayân sebagaimana diungkap al-Jâhiz, atau ‘ilm al-naqd sebagaimana dikatakan ‎Qudâmah Ibn Ja‘far, bahkan Abû Hilâl al-‘Askariy menyebutnya dengan ilmu Sinâ‘atai ‎al-Syi‘r wa al-Natsr.‎ ‎ Fase kedua, ketika ada upaya-upaya dari para ahli balâghah yang ‎mengkaji buku Ibn al-Mu‘taz yang berjudul “al-Badî‘”, kemudian mereka ‎mengkhususkan, membatasi, memperluas, dan memasukkan pembahasan balâghah ke ‎dalam bab-bab tersendiri yang dimotori oleh al-Sakâkiy pada masa akhir dinasti ‎‎‘Abasiyah. Sehingga mereka pun dapat membedakan kata “balâghah” dan “fasâhah”.‎
Secara etimologis, kata “al-fasâhah”  berarti tampak dan jelas (al-zuhûr wa al-‎ibânah). Sedangkan secara terminologis, kata tersebut tergantung pada penggunaannya ‎yang terdapat pada kata, atau perkataan, atau pembicara.‎
al-Marâghiy menjelaskan beberapa kriteria suatu kata dapat dikategorikan ‎mencapai tingkatan kefasihan (fasâhah) apabila terbebas dari empat hal:‎
‎1)‎    Kata yang sukar atau berat diucapkan (tanâfur al-hurûf), misalnya kata ‎الهُعْخُعُ‎  atau ‎tumbuh-tumbuhan yang hitam. Kata semacam ini berat untuk diucapkan bagi ‎orang Arab, dan kata semacam ini ada dua macam; berat sekali diucapkan, seperti ‎الصَمْعَمِعُ‎ (kepala yang kecil), atau terlalu ringan diucapkan, seperti ‎النَّقَاحُ‎ (air yang ‎jernih).‎
‎2)‎    Kata yang sukar dipahami artinya, aneh, dan jarang dikenal oleh orang Arab ‎kebanyakan (gharâbah al-lafz). Misalnya ucapan orang Badui;‎
مَا لَكُمْ تَكَأْكَأْتُمْ عَلَيَّ كَتَكَأْكُئِكُمْ عَلَى ذِىْ جِنَّةٍ اِقْرَنْقِعُوا   ‏
Kata ‎تَكَأْكَأْتُمْ‎ dan ‎اِفْرَنْقِعُوْا‎ merupakan kata yang aneh bagi orang Arab. Juga kata yang ‎aneh lainnya seperti ‎بُعَاقٌ‎ (hujan), ‎جردحل‎ (oase), dan sebagainya.‎
‎3)‎    Kata yang melanggar kaidah-kaidah morfologis yang terdapat pada ucapan orang ‎Arab (mukhâlafah al-qiyâs), seperti kata ‎الأجلل‎ yang seharusnya menjadi ‎الأجلّ‎, dan ‎lain sebagainya.‎
‎4)‎    Kata yang tidak sedap didengar telinga orang Arab (al-Karâhah fi al-sam’), ‎seperti kata ‎الجَرَشِيُّ‎ yang berarti ‎النفس‎ (jiwa).‎
Sedangkan kriteria kefasihan (fasâhah) suatu perkataan, dapat tercapai apabila ‎perkataan tersebut terbebas dari beberapa hal berikut;‎
‎1)‎    Kalimat atau perkataan yang sukar atau berat diucapkan (tanâfur al-kalimah), ‎misalnya puisi al-Jâhiz berikut; ‎
وَقَبْرُ حَرْبٍ بِمَكَانٍ قَفْرُ    ‏#‏    وَلَيْسَ قُرْبَ قَبْرِ حَرْبٍ قَبْرُ  ‏
‎“Kuburan musuh harus di tempat yang sunyi, dan tidak ada kuburan lain di dekat ‎kuburan itu”.‎

‎2)‎    Susunan kalimatnya melanggar atau menyalahi kaidah-kaidah sintaksis (du‘f  al-‎ta′lîf), seperti bergandengannya dua pronomina (damîr) dalam puisi al-Mutanabbiy ‎berikut; ‎
خَلَّتِ اْلبِلاَدُ مِنَ الْغَزَالَةِ لَيْلَهَا ‏‎   ‎    ‎   ‎‏ #‏‎  ‎    ‏    فَأَعَاضَهَاكَ اللهُ كَيْ لاَ تَخْزَنَا   ‏
‎“Ketika negaramu telah terbenam mataharinya pada malam hari, maka semoga ‎Allah menggantikannya untukmu agar engkau tidak sedih”. ‎

Pada kata ‎فَأَعَاضَهَاكَ ‏‎ terdapat dua pronomina (damîr) yaitu “‎ها‎” dan “‎الكاف‎” yang ‎bergandengan, susunan kalimat semacam ini menyalahi kaidah sintaksis.‎
‎3)‎    Susunan kalimatnya cacat atau tidak sempurna sehingga tidak dapat dipahami ‎maksudnya, atau ia dapat dipahami setelah mengalami kesulitan dan kesukaran ‎‎(al-ta‘qîd al-lafziy). Atau dengan kata lain melanggar kaidah-kaidah sintaksis ‎secara luas, seperti puisi al-Farazdaq berikut ketika memuji Ibrâhîm Ibn Hisyâm ‎al-Makhzûmiy;‎
وَمَا مِثْلُهُ فِي النَّاسِ إِلاَّ مُمَلَّكًا ‏    ‏   # ‏    ‏   أَبُوْ  أُمِّهِ حَيٌّ أَبُوْهُ يُقَارِبُهُ
    Seharusnya susunan kalimatnya berbunyi;‎
وَمَا مِثْلُهُ فِي النَّاسِ حَيٌّ يُقَارِبُهُ    ‏   #‏    ‏   إِلاَّ مُمَلَّكًا أَبُوْ  أُمِّهِ أَبُوْهُ ‏
‎“Tiada seorang pun yang menyerupainya, kecuali raja yang bapak ibunya masih ‎hidup, yaitu bapaknya (Ibrahim) yang menyerupai dia”.‎

‎4)‎    Perpindahan makna denotatif ke makna konotatif yang kurang jelas atau masih ‎samar (al-ta‘qîd al-ma‘nawiy). Hal ini akan menyebabkan cacat pada makna ‎konotatif tersebut,‎ ‎ misalnya puisi al-‘Abbâs Ibn al-Ahnâf berikut;‎
سَأَطْلُبُ بَعْدَ الدَّارِ عَنْكُمْ لِتَقْرَبُوْا ‏    ‏    #‏    ‏  وَتَسْكُبُ عَيْنَايَ الدُّمُوْعَ لِتَجْمُدَا ‏
‎“Aku akan mencari tempat yang jauh dari kamu sekalian, agar kamu sekalian ‎dekat denganku dan supaya kedua mataku mencucurkan air mata, kemudian ‎menjadi beku”.‎

Mencucurnya air mata sebagai bukti kesedihan dan kepedihan seseorang ketika ‎berpisah, namun sang penyair tidak tepat ketika membuat metonimie (kinâyah) ‎terhadap makna detonatif “beku” sebagai ungkapan makna konotatifnya yaitu ‎‎“bakhil atau pelit”, sebab pada puisi tersebut akan dipahami makna konotatif ‎lainnya yaitu “gembira”. ‎
Sedangkan kriteria ketiga yaitu kefasihan pembicara (fasahah al-mutakallim) ‎adalah kemampuan yang dimiliki seorang pembicara dalam mengungkapkan maksud-‎maksud dan gagasan-gagasannya dengan menggunakan kata dan kalimat yang fasîh. ‎Atau dengan kata lain kefasihan (fasâhah) merupakan sifat yang dimiliki dan tertanam di ‎dalam diri pembicara yang selalu menemaninya pada setiap situasi dan kondisi, jika ‎terpisah darinya, maka ia tidak memiliki kemampuan tersebut, sehingga tidak dapat ‎dikatakan sebagai pembicara (mutakallim) yang fasîh.‎
Hal senada dengan kriteria kefasihan pembicara di atas, Gorys Keraf ‎mengungkapkan beberapa syarat dalam pendayagunaan kata dan ketepatan pilihan kata ‎‎(diksi), serta syarat-syarat pendayagunaan kata dan kesesuaian pilihan kata (diksi) yang ‎hendaknya diperhatikan seseorang agar ia dapat mencapai ketepatan dan kesesuaian ‎pilihan katanya,‎ antara lain: membedakan secara cermat denotasi dari konotasi, ‎membedakan dengan cermat kata-kata yang hampir bersinonim, membedakan kata yang ‎mirip dengan ejaannya, atau kata-kata yang mirip dalam tulisannya, menghindari kata-‎kata ciptaan sendiri ,membedakan kata umum dan kata khusus. mempergunakan kata-‎kata indria yang menunjukkan persepsi yang khusus, memperhatikan perubahan makna ‎yang terjadi pada kata-kata yang sudah dikenal dan memperhatikan kelangsungan pilihan ‎kata. ‎
Lebih lanjut dalam hal kesesuaian pilihan kata (diksi), ia menjelaskan syarat-‎syaratnya, antara lain: menghindari sejauh mungkin bahasa atau unsur substandar dalam ‎suatu situasi yang formal, menggunakan kata-kata ilmiah dalam situasi yang khusus saja, ‎menghindari kata-kata “jargon” dalam tulisan untuk pembaca umum, dan menjauhi kata-‎kata atau bahasa yang artifisial.‎
Sebagaimana penulis singgung sebelumnya bahwa pada awalnya para ahli ‎balâghah tidak membedakan antara makna kata “fasâhah” dengan kata “balâghah”, ‎seperti ‘Abd al-Qâhir al-Jurjâniy tidak membedakan makna kata keduanya, namun Ibn ‎Sinân al-Khafâjiy dalam bukunya “Sirr al-Fasâhah” sebagaimana dikutip oleh Mustafâ ‎Muslim mengemukakan perbedaan antara kedua istilah tersebut,‎ ‎ fasâhah adalah sesuatu ‎yang tersimpan dalam kata-kata, sedangkan balâghah adalah sesuatu yang bukan hanya ‎terkandung dalam kata, tetapi juga dalam makna. Jadi setiap kalimat atau ungkapan ‎balîgh, sudah pasti fasîh, tetapi setiap ungkapan yang fasîh, belum tentu bisa disebut ‎balîgh.‎
Pada perkembangan berikutnya para ahli balâghah merinci dan membedakan ‎kedua istilah tersebut, diantaranya ‘Abd al-‘Azîz ‘Atîq yang menyimpulkan perbedaan ‎kedua istilah tersebut bahwa fasâhah tersimpan dalam kosa kata, perkataan, dan diri ‎pembicara sehingga dapat dikatakan; kosa kata yang fasîh, perkataan yang fasîh, dan ‎seorang pembicara yang fasîh. Sementara balâghah tersimpan dalam perkataan dan diri ‎pembicara saja, maka dapat dikatakan; perkataan yang balîgh, dan pembicara yang balîgh.‎
Ada juga yang mengidentikkan balâghah dengan ilmu retorika, menurut Gorys ‎keraf retorika adalah suatu teknik pemakaian bahasa sebagai seni, baik lisan maupun ‎tertulis, yang didasarkan pada suatu pengetahuan yang tersusun baik. Dan tujuan retorika ‎adalah menerangkan kaidah-kaidah yang menjadi landasan dari tulisan yang bersifat prosa ‎atau wacana lisan yang berbentuk pidato atau ceramah, untuk mempengaruhi sikap dan ‎perasaan orang.‎
Balâghah merupakan suatu disiplin ilmu yang berlandaskan kepada kejernihan ‎jiwa dan ketelitian menangkap keindahan dan kejelasan perbedaan yang samar diantara ‎macam-macam ungkapan. Dapat dikatakan bahwa perbedaan antara seorang yang ahli ‎balâghah dengan seorang pelukis hanya terletak pada bidang garapannya saja. Ahli ‎balâghah mengolah kalimat dan pembicaraan untuk diperdengarkan, sedangkan seorang ‎pelukis mengolah warna dan bentuk untuk diperlihatkan. Di sisi lain mereka adalah sama. ‎Seorang pelukis ketika berhasrat untuk melukis sesuatu, berfikir tentang warna yang tepat ‎dan mengkombinasikan warna-warna itu sehingga sedap untuk dipandang dan menarik ‎perhatian. Dan seorang ahli balâghah bila hendak menyusun sebuah syair, makalah, atau ‎pun teks pidato, maka dia akan berfikir tentang kerangka pembicaraannya, kemudian ‎disusunnyalah kata-kata dan ungkapan yang mudah dicerna yang pada akhirnya nanti ‎dapat mempengaruhi audiens.‎
Dari penjelasan diatas dapat diraba unsur-unsur yang ada pada balâghah, yaitu; ‎kata, makna, susunan kalimat yang mengandung kekuatan dan pengaruh positif, dan ‎ketajaman dalam pemilihan kata dan gaya bahasa yang sesuai dengan tempat, isi dan ‎kondisi pendengar, serta kekuatan pengaruh ke dalam jiwa dan keindahan. Kekuatan ‎pengaruh tersebut bukan pada kata atau makna saja, tetapi terletak pada hubungan yang ‎saling terkait antara kata dan makna serta pengaruh yang lazim terjadi karena adanya ‎kesesuaian dan keserasian kata dan makna.‎
Dalam kajian sastra, balâghah merupakan sifat dari perkataan (kalâm) dan ‎pembicara (mutakallim), sehingga muncul sebutan kalâm balîgh dan mutakallim balîgh.‎
Balâghah dalam kalâm menurut para pendahulu adalah; “Kesesuaian atau ‎kecocokannya terhadap situasi dan kondisi disertai dengan kefasihannya”.‎
Dalam arti bahwa kalâm itu sesuai dengan situasi dan kondisi para pendengar. ‎Perubahan situasi dan kondisi para pendengar menuntut perubahan susunan kalam, seperti ‎situasi dan kondisi yang menuntut kalâm itnâb tentu berbeda dengan situasi dan kondisi ‎kalâm îjâz, berbicara kepada orang cerdas tentu berbeda dengan orang dungu, tuntutan  ‎gaya bahasa fasl meninggalkan khitâb wasl, tuntutan taqdîm tidak sesuai dengan ta′khîr; ‎demikian seterusnya untuk setiap situasi dan kondisi ada kalâm yang sesuai dengannya. ‎
Oleh karena itu, dalam hal ini para ahli balâghah pada masa kedua fase di atas ‎seperti; al-Jâhiz, Abû ‘Ubaidah, al-Bâqalâniy, al-Zamakhsyariy, al-Sakâkiy, al-Maraghiy, ‎dan sebagainya sepakat membagi kalâm baligh menjadi tiga tingkatan; Pertama, ‎tingkatan yang paling tinggi yang penuh dengan kemukjizatan yaitu kalâm Allâh swt ‎yang tidak dapat ditiru oleh makhluk-Nya. Kedua, tingkatan dibawahnya yaitu kalâm ‎rasûlullah saw. Dan tingkatan ketiga, yaitu ucapan para ahli balaghah dari bangsa Arab ‎masa jahiliyah dan masa Islam.‎
Sedangkan balâghah dalam pembicara (mutakallim) adalah kemampuan dan ‎pendayagunaan di dalam diri pembicara sehingga dapat menghasilkan kalam yang fasîh ‎dan balîgh. Balâghah mencakup kefasihan baik dalam kalâm maupun dalam diri ‎pembicara, jika keduanya balîgh maka keduanya juga fasîh, sebab dalam balâghah harus ‎mencakup kefasihan perkataan (kalâm) dan pembicara (mutakallim). Dan nilai balâghah ‎untuk setiap kalâm bergantung kepada sejauh mana kalâm itu dapat memenuhi tuntutan ‎situasi dan kondisi, setelah memperhatikan kefasihannya. Demikian antara balâghah dan ‎fasâhah saling terkait.  ‎
Sastra Arab disebut juga dengan adab ‘arabiy, sedangkan penilaian terhadap ‎sastra Arab disebut naqd al-adab, dan orang yang melakukan penilaian terhadap sastra ‎Arab disebut nâqid. Nâqid adalah orang yang memiliki kemampuan untuk membedakan ‎kalâm yang baik dan yang jelek dengan bersandar kepada anugerah seninya, perasaannya ‎yang lembut dan pengalamannya yang banyak dalam menekuni teks-teks sastra Arab dan ‎peninggalan-peninggalan sastra. Balâghah dan fasâhah merupakan tolok ukur sastra Arab, ‎pada keduanya norma baik dan buruk karya sastra Arab bersandar.‎
  
C. Ruang Lingkup Pembahasan Ilmu Balâghah
    Mayoritas buku balâghah yang ada pada saat ini sepakat atas pembagian ilmu ‎balâghah menjadi tiga ilmu yang masing-masing berdiri sendiri dengan pembahasannya, ‎sebagaimana yang dikenal, yaitu; ‘ilm al-ma‘âniy, ‘ilm al-bayân, dan ‘ilm al-badî‘. ‎Pembahasan ketiga ilmu ini sebagai berikut ;‎
‎1) ‘Ilm al-Ma‘âniy
    Para ahli balâghah sejak masa fase kedua mendefinisikan ‘ilm al-ma‘âniy sebagai ‎ilmu yang mempelajari tentang hal-ihwal lafz bahasa Arab sesuai dengan tuntutan situasi ‎dan kondisi. Definisi ini pertama kali dicetuskan oleh al-Khatîb al-Qazawainiy dalam ‎bukunya al-îdâh.‎ ‎ ‎
Yang dimaksud dengan hal-ihwal lafz bahasa Arab adalah pola-pola susunan ‎kalimat dalam bahasa Arab, seperti penggunaan al-taqdîm atau al-ta′khîr, penggunaan al-‎ma‘rifah atau al-nakirah, penggunaan al-dzikr atau al-hadzf, dan sebagainya. Sedangkan ‎yang dimaksud dengan situasi dan kondisi adalah situasi dan kondisi pendengar ‎‎(mukhâtab), seperti keadaan kosong dari suatu informasi, atau ragu-ragu, atau justru ‎mengingkari informasi tersebut.‎
Pembahasan ‘ilm al-ma‘âniy meliputi tujuh macam, yaitu; 1) al-khabar, 2) al-‎insyâ′, 3) ahwâl al-musnad ilaih dan al-musnad, 4) ahwâl muta‘alliqât al-fi‘l, 5) al-qasr, ‎‎6) al-fasl dan al-wasl, 7) al-îjâz, al-itnâb, dan al-musâwâh.‎
Disini penulis akan memaparkan ketujuh macam tersebut secara ringkas namun ‎padat, terutama hal-hal yang berkaitan dengan pembahasan tesis ini, yaitu yang berkaitan ‎dengan studi analisis balâghah terhadap ayat-ayat al-Qur′ân yang di dalamnya ada kata ‎al-fu′âd.‎
‎1) al-khabar (kalimat berita)‎
Susunan kalimat dalam bahasa Arab ada dua macam, yakni al-khabar dan al-‎insyâ′. al-Khabar dalam ‘ilm al-ma‘âniy adalah perkataan yang mungkin benar atau ‎mungkin dusta dilihat dari perkataan itu sendiri. Dan dapat dikatakan pula bagi penutur ‎perkataan tersebut, benar atau dusta, jika perkataan itu sesuai dengan kenyataan maka ‎penuturnya benar dan jika tidak sesuai maka penuturnya dusta.‎
    Penyampaian perkataan dalam bentuk kalimat berita (al-khabar) pada prinsipnya ‎memiliki dua tujuan, yaitu;‎
a) Memberi tahu kepada mukhâtab tentang isi berita sedang ia tidak tahu tentang ‎isi berita tersebut, disebut dengan fâ′idah al-khabar, sebagai contoh perkataan di ‎bawah ini:‎
وُلِدَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْفِيْلِ وَأُوْحِيَ إِلَيْهِ فِي سِنِّ اْلأَرْبعِيْنَ ‏
‏"‏Nabi saw. dilahirkan pada tahun Gajah dan diberi wahyu pada usia empat puluh ‎tahun ‎‏"‏‎.‎

b) Memberi tahu kepada pendengar (mukhâtab) tentang isi berita sedangkan ia ‎telah mengetahui isi berita tersebut, disebut dengan lâzim al-fâ′idah, misalnya ‎perkataan seseorang kepada orang lain; “Pada hari ini anda benar-benar bangun ‎tidur pagi hari”.‎
    Mayoritas ahli balâghah berpendapat bahwa selain dua tujuan tersebut, masih ada ‎beberapa tujuan lain dalam penyampaian perkataan dalam bentuk kalimat berita (khabar) ‎yang dapat dipahami dari konteks perkataan dan indikator kondisi perkataan itu, seperti; ‎menampakkan kelemahan (izhâr al-du’f), meminta belas kasihan (al-istirhâm), ‎menampakkan kesedihan (izhâr al-tahassur), memuji (al-madh), membanggakan diri (al-‎fakhr), memberikan peringatan (al-tahdzîr), dan sebagainya. ‎
Namun pada prinsipnya kalimat berita (al-khabar) hanya memiliki dua tujuan ‎pokok, yaitu yang disebut dengan “fâ′idah al-khabar” dan “lâzim al-fâ′idah”. Dua tujuan ‎ini pada waktu yang sama memiliki makna tujuan lain sebagaimana tujuan-tujuan tersebut ‎di atas. ‎
Sebagai contoh, ucapan Nabi Zakariyâ as. ketika berbicara kepada Tuhannya yang ‎digambarkan dalam sûrah Maryam/ 19: 4;‎
‏{ قَالَ رَبِّ إِنِّي وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّي وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا ... }  ‏
‎“Ia berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ‎ditumbuhi uban …”. (QS. 19: 4)‎

Ayat ini merupakan kalimat berita (al-khabar) yang memiliki tujuan lâzim al-‎fâ′idah, karena Allâh swt. telah menciptakan Zakariya Maha Mengetahui bahwa ‎tulangnya telah menjadi lemah dan kepalanya penuh dengan uban, dan Zakariya pada ‎waktu yang sama juga meunjukkan tujuan lain menampakkan kelemahan dan ketidak ‎berdayaannya (izhâr al-du’f).‎
    Dalam bahasa Arab ada berbagai macam perangkat (al-adawât) yang menjadi ‎pengukuh terhadap makna yang ada pada susunan kalimatnya. Perangkat (al-Adawât) ‎yang merupakan pengukuhan pada kalimat berita (al-khabar) yakni;‎
‏( إِنَّ، ولاَمُ اْلاِبْتِدَاءِ، وأَمَّا الشَرْطِيَّة، والسِّيْن، وقَدْ التَّحْقِيْقِيَة، وضَمِيْرُ الْفَصْلِ، والْقَسَم، و نُوْنَا التَّوْكِيْد، الْحُرُوْفُ ‏الزَّائِدَة، وأَحْرُفُ التَّنْبِيْهِ )  ‏
    Ditinjau dari kondisi pendengar (mukhâtab), al-khabar terdiri dari tiga bentuk,‎ ‎ ‎pertama, bila kondisi pendengar (mukhâtab) lugu atau kosong dari informasi, ‎penyampaian khabar dalam bentuk al-ibtidâ′iy yakni tanpa menggunakan pengukuhan. ‎Kedua, bila kondisi pendengar (mukhâtab) ragu-ragu, penyampaian khabar perlu dalam ‎bentuk al-talabiy yakni dengan menggunakan satu pengukuhan. Ketiga, bila kondisi ‎pendengar (mukhâtab) tidak percaya atau mengingkari, penyampaian khabar dalam ‎bentuk al-inkâriy, yakni menggunakan lebih dari satu pengukuhan sesuai dengan kadar ‎keingkarannya.‎
‎2) al-insyâ′ (kalimat bukan berita)‎
Jika al-khabar adalah perkataan yang mungkin benar atau mungkin dusta dilihat ‎dari perkataan itu sendiri. Sebaliknya al-insyâ′ adalah perkataan yang tidak bisa ‎dikatakan benar atau dusta dilihat dari perkataan itu sendiri, maka tidak bisa dikatakan ‎bagi penuturnya bahwa ia benar atau berdusta. Hal itu karena tidak ada suatu eksistensi ‎luar yang sesuai atau tidak sesuai dengan perkataan tersebut sebelum diucapkan,‎ ‎ ‎misalnya beberapa kalimat berikut; " simaklah pelajaran di dalam kelas, janganlah engkau ‎mencampuri urusan orang lain, hai teman! mari ke sini ”. Susunan kalimat ini, jika ‎dicermati tidak ada di dalamnya perkataan benar atau dusta, tetapi di dalamnya ada ‎perintah, larangan, dan seruan.‎
    Kalimat bukan berita (al-insyâ′) ini terbagi menjadi dua macam, yaitu al-insyâ′ al-‎talabiy dan al-insyâ′ ghair al-talabiy. ‎
    al-Insyâ′ al-talabiy adalah perkataan yang menghendaki tuntutan yang belum ‎terjadi pada saat menuntut. Dan yang semacam ini memiliki lima jenis pola; al-amr, al-‎nahy, al-istifhâm, al-tamanniy, dan al-nidâ′. ‎
Terlebih dahulu penulis akan menjelaskan al-insyâ′ ghair al-talabiy., yaitu ‎perkataan yang tidak menghendaki tuntutan yang belum terjadi pada saat menuntut. ‎Perkataan semacam ini memiliki berbagai macam forma antara lain; uslûb al-madh dan al-‎dzamm (pujian dan hinaan), uslûb al-‘uqûd (kesepakatan dan perjanjian), uslûb al-qasam ‎‎(sumpah), uslûb al-ta‘ajjub (kekaguman), af‘âl al-rajâ′ (kata kerja yang menunjukkan ‎harapan).‎
    Perbedaan yang signifikan antara kedua jenis al-insyâ′ ini, bahwa dalam al-insyâ′ ‎al-talabiy keberadaan makna kalimatnya datang lebih lambat dari keberadaan lafalnya. ‎Sedangkan dalam al-insyâ′ ghair al-talabiy keberadaan maknanya terjadi bersamaan ‎dengan lafalnya pada waktu terjadinya lafal tersebut.‎
    Mayoritas ahli balâghah mengklasifikasikan al-insyâ′ ghair al-talabiy ke dalam ‎bagian al-khabar, kecuali gaya bahasa harapan (uslûb al-rajâ′) yang dianggap sebagai ‎bagian dari al-insyâ′ al-talabiy. Bahkan mereka berpendapat bahwa al-insyâ′ ghair al-‎talabiy sebaiknya tidak dikategorikan ke dalam pembahasan ilmu balâghah karena alasan ‎kurang signifikan dan lebih dekat menjadi pembahasan sintaksis (‘ilm al-nahw).‎
    Para ahli ‘ilm al-ma‘âniy membatasi pembahasan al-insyâ′ al-talabiy ke dalam lima ‎macam, yaitu: 1) al-amr, 2) al-nahy, 3) al-istifhâm, 4) al-tamanniy, 5) al-nidâ′. Ada juga ‎yang menambahkan selain lima macam tersebut, seperti al-‘ard dan al-tahdîd.‎ ‎ Namun ‎lima macam yang pertama lebih banyak dipakai dan dibahas;‎
‎1) al-amr (perintah)‎
    al-Amr adalah tuntutan untuk melakukan sesuatu dari atas ke bawah atau yang ‎selazimnya. Untuk menghasilkan perkataan al-amr harus menggunakan bentuk-bentuk ‎sebagai berikut;‎
a) fi‘l al-amr (kata kerja perintah), contoh dalam sûrah al-Baqarah/ 2: 43;‎
‏{وَأَقِيْمُوْا الصَّلوةَ وَءَاتُوْا الزَّكوةَ }‏
‎“Dan dirikanlah shalat, dan tunaikanlah zakat’”. (QS. 2:43)‎

b) fi‘l al-mudâri‘ yang diawali dengan lâm al-amr, contoh dalam sûrah al-Hajj/ 22: ‎‎29;‎
‏{ وَلْيُوْفُوْا نُذُوْرَهُمْ }‏
‎“Dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka”.(QS. 22: 29)‎

c) ism fi‘l amr, contoh dalam sûrah al-Mâ′idah/ 5: 105;‎
‏{عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ }‏
‎“Jagalah dirimu,”. (QS. 5: 105)‎

d) masdar pengganti fi‘l al-amr, contoh dalam sûrah al-Baqarah/ 2: 83;‎
‏{ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا }‏‎ ‎‏ ‏
‎“Berbuat baiklah kepada ibu bapak”. (QS. 2: 83)‎
    Keempat macam ini merupakan bentuk-bentuk hakiki dalam perkataan atau ‎kalimat al-amr. Dan jika dilihat dari konteks pembicaraan, al-amr terkadang bergeser dari ‎makna asli, yakni perintah, kepada makna-makna lain, seperti hal-hal berikut ini:‎
a) al-du‘â′ (do’a), seperti do’a seorang hamba kepada Tuhannya, contoh dalam ‎sûrah Ibrâhîm/ 14: 37;‎
‏{رَبَّنَا لِيُقِيْمُوا الصَلوةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِى إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِنَ الثَّمَرتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُوْنَ}   ‏
‎“ Ya Tuhan kami, (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka ‎jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepad mereka dan beri rezekilah ‎mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur ”. (QS. 14: 37)‎

b) al-takhyîr (memilih), yaitu memilih satu di antara dua atau lebih, seperti ucapan ‎seseorang kepada lainnya; “nikahlah engkau atau hidup membujang!”.‎
Dan masih banyak lainnya seperti; al-iltimâs, al-taswiyah, al-ibâhah, al-tahdîd, al-‎ta‘jîz, al-irsyâd, al-tamanniy, al-tahakkum, al-ta′dîb dan sebagainya..‎
‎2) al-nahy (larangan)‎
al-Nahy adalah tuntutan untuk meninggalkan sesuatu dari atas ke bawah atau ‎yang selazimnya. Untuk menghasilkan perkataan al-amr harus menggunakan satu-satunya ‎forma yang dimilikinya yaitu dalam bentuk fi‘l al-mudâri‘ yang diawali dengan huruf lâm ‎al-nâhiyah, contohnya dalam sûrah al-An‘âm/ 6: 152;‎
‏{ وَلاَ تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيْمِ إِلاَّ بِالَّتِى هِيَ أَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ أَشُدَّهُ }‏
‎“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim kecuali dengan cara yang lebih ‎bermanfaat hingga ia dewasa”. (QS. 6: 152)‎

    Seperti halnya al-amr, bila dilihat dari konteks pembicaraan, al-nahy juga ‎terkadang bergeser dari makna asli, kepada makna-makna lain, seperti;‎
a) al-du‘â‘ (do’a), terdapat di dalam perkataan dari orang yang di bawah kepada ‎yang di atas, seperti do’a seorang hamba kepada Tuhannya, contoh dalam sûrah ‎al-Baqarah/ 2: 286;‎
‏{ رَبّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا... }‏
‎“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau salah”.‎

b) al-irsyâd (nasehat), contoh dalam sûrah al-Isrâ′/ 17: 36;‎
‏{ وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَاْلبَصَرَ وَاْلفُؤَادَ كُلُّ أُولئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُوْلاً }‏
‎“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan ‎tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan ‎diminta pertanggungan jawabnya ”. (QS. 17: 36)‎

Dan masih banyak lainnya seperti; al-iltimâs, al-tamanniy, al-taubîkh, al-tai′îs, al-‎tahdîd, dan al-tahqîr yang tidak penulis bahas semuanya, contoh di atas sudah mewakili ‎terhadap apa yang akan dikaji dalam tesis ini.‎
‎3) al-istifhâm (pertanyaan)‎
al-Istifhâm adalah mencari tahu tentang sesuatu yang belum diketahui sebelumnya. ‎Untuk menghasilkan perkataan al-istifhâm harus menggunakan satu partikel (al-adât) dari ‎partikel-partikel (al-adawât) yang dimilikinya yaitu:‎
‏( أدوات الاستفهام: الْهَمْزَة، وهَلْ، ومَتَى، وأَيَّانَ، وكَيْفَ، وأَيْنَ، وأَنَّى، وكَمْ، وأَيّ )‏  
    Bentuk al-istifhâm terbagi menjadi tiga macam;‎
Pertama, sesuatu yang dicari terkadang dalam bentuk al-tasawwur atau dalam ‎bentuk al-tasdîq, perkataan dalam bentuk ini menggunakan huruf “al-hamzah”. Kedua, ‎sesuatu yang dicari dalam bentuk al-tasdîq saja, menggunakan huruf “hal”. Ketiga, ‎sesuatu yang dicari dalam bentuk al-tasawwur saja, maka menggunakan partikel-partikel ‎yang tersisa, yaitu: matâ, ayyâna, kaifa, aina, annâ, kam, dan ayyu.‎
Dalam pembahasan al-istifhâm ini penulis tidak memaparkannya lebih luas, dengan ‎alasan hubungan pembahasan al-istifhâm dengan apa yang akan dikaji penulis dalam tesis ‎ini kurang signifikan.‎

‎4) al-tamanniy (angan-angan atau harapan)‎
    al-Tamanniy adalah mengangan-angankan sesuatu yang diinginkan tetapi tidak ‎ada harapan terjadi, baik karena mustahil terjadi atau jauh dari harapan memperolehnya. ‎Ibn Hisyâm mengatakan sebagaimana dikutip ‘Abd al-Qâdir Husain, bahwa al-tamanniy ‎mayoritasnya berkaitan dengan sesuatu yang mustahil dan sedikit sekali berkaitan dengan ‎sesuatu yang mungkin terjadi.‎
    Perangkat (adât) dalam al-tamanniy yang asli adalah laita ( ‎لَيْتَ‎ ), terkadang ‎digunakan juga al-adawât yang lain seperti la‘alla ( ‎لَعَلَّ‎ ), hal ( ‎هَلْ‎ ), dan lau ( ‎لَوْ‎ ) karena ‎alasan balâghah. ‎
    Lafal la‘alla digunakan di luar makna asli al-tamanniy, yaitu al-tarajjiy untuk ‎mengangan-angan sesuatu yang disukai atau sesuatu yang dibenci. Contoh angan-angan ‎sesuatu yang disukai terdapat di dalam sûrah Ibrâhîm/ 14: 37;‎
‏{ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِى إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِنَ الثَّمَرتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُوْنَ }   ‏
‎“Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri ‎rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur ”.‎

    Lafal lau dapat juga digunakan diluar makna asli al-tamanniy, yaitu al-tarajjiy ‎sebagaimana dalam contoh berikut;‎
‎1)‎    sûrah al-Furqân/ 25: 32;‎
‏{ وَقَالَ الَّذِيْنَ كَفَرُوا لَوْ لاَ نُزِّلَ عَلَيْهِ اْلقُرْءانَ جُمْلَةً وَّاحِدَةً }‏
‎“Berkatalah orang-orang yang kafir: “Mengapa al-Qur’an itu tidak diturunkan ‎kepadanya sekali turun saja”. (QS. 25: 32)‎
‎5) al-nidâ′ (panggilan/ seruan)‎
    al-Nidâ′ adalah tuntutan hadir untuk menghadap dengan menggunakan kata yang ‎berarti saya panggil. Untuk menghasilkan perkataan al-nidâ′ harus menggunakan salah ‎satu partikel-partikel (al-adawât) al-nidâ′ yang berjumlah delapan, yaitu; hamzah, ay, yâ, ‎â, ây, ayâ, hayyâ, dan wâ. Dalam pembahasan al-nidâ′ ini penulis juga tidak ‎memaparkannya lebih luas, dengan alasan yang sama sebagaimana dalam pembahasan al-‎istifhâm.‎

‎3) ahwâl al-musnad ilaih dan al-musnad (kondisi klausa subyek dan prediket)‎
Setiap kalimat khabariyyah atau insyâ′iyyah, fi‘liyyah atau ismiyyah terdiri dari ‎dua bagian pokok, yaitu al-musnad dan al-musnad ilaih. Dalam kajian balâghah posisi al-‎musnad ilaih lebih penting dan berharga daripada al-musnad, atau dengan kata lain al-‎musnad ilaih adalah dzâtnya (inti) sedang al-musnad sifahnya. Menurut logika (‘ilm al-‎mantîq) dzât sesuatu itu lebih kuat daripada sifahnya.‎
Posisi al-musnad ilaih pada kalimat antara lain sebagai; al-fâ‘il, nâ′ib al-fâ‘il, al-‎mubtada′ yang memiliki khabar, marfû‘ al-mubtada′ al-musytaq, sesuatu yang asalnya ‎mubtada′, dan al-maf‘ûl al-awwal pada fi‘l yang memiliki dua maf‘ûl.‎
Posisi al-musnad pada kalimat antara lain sebagai; al-fi ‘l al-tâm, ism al-fi‘l, khabar ‎al-mubtada′, al-mubtada′ yang tidak memiliki khabar, sesuatu yang asalnya khabar. Dan ‎al-maf‘ûl al-tsâni pada fi‘l yang memiliki dua maf‘ûl
Keduanya merupakan dua bagaian pokok kalimat yang memiliki tujuan-tujuan ‎balâghah selain tujuan-tujuan sintaksis. Adapun tujuan-tujuan kebalâghahannya berupa; ‎al-dzikr dan al-hadzf, al-taqdîm dan al-ta′khîr, al-ta‘rif dan al-tankîr, al-taqyîd, dan al-‎qasr, ‎
Untuk lebih jelasnya penulis bahas satu persatu.‎
‎1) al-hadzf (eliptik) dan al-dzikr (penyebutan)‎
Para ahli balâghah menyebutkan beberapa alasan mengapa al-musnad ilaih ‎dihapus dalam kalimat dan tidak disebut di dalamnya, mayoritas terjadi ketika al-musnad ‎ilaih pada posisi al-mubtada′ atau al-fâ‘il.‎
Terjadinya hadzf pada al-musnad ilaih pada posisi al-mubtada′ antara lain karena ‎alasan al-ihtirâz ‘an al-‘abats, yaitu menghindari kalimat yang sia-sia, biasanya terjadi ‎ketika al-musnad ilaih pada posisi jawaban dari kalimat al-istifhâm, atau setelah huruf al-‎fâ′ yang diawali dengan jawâb al-syart, atau setelah fi‘l al-qaul. Contoh dalam sûrah al-‎Humazah/ 104: 5-6;‎
‏{ وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْحُطَمَةُ، (هي) نَارُ اللهِ الْمُوْقَدَةُ }  ‏
Kata pronomina (dâmir) “ ‎هي‎ “ dihapus dalam kalimat ini.‎
Sedangkan terjadinya hadzf al-musnad ilaih pada posisi al-fâ‘il antara lain karena ‎alasan keberadaan fâ‘il sudah diketahui oleh mukhâtab, seperti dalam sûrah al-Humazah/ ‎‎104: 7;‎
‏{ الَّتِى تَطَّلِعُ عَلَى اْلأَفْئِدَةِ }‏
‎“ Yang (membakar) sampai ke hati “. (QS. 104: 7)‎
Pronomina (damîr) yang merupakan subyek (fâ‘il) yang kembali kepada ayat ‎sebelumnya tidak disebut, tetapi dihapus, dan pronomina (damîr) tersebut adalah musnad ‎ilaih pada posisi subyek (fâ‘il).‎
Demikian pula hadzf al-musnad pada kalimat dapat terjadi karena beberapa hal, ‎antara lain; al-ihtirâz ‘an al-‘abats, dan al-musnad merupakan jawaban yang berupa fi‘l ‎dari pertanyaan untuk memastikan, dan sebagainya.‎
    Asal al-musnad ilaih pada kalimat sebenarnya disebutkan dan tidak dihapus, ‎kecuali pada alasan-alasan di atas. Sedangkan alasan dzikr (penyebutan) al-musnad ilaih ‎dalam kalimat antara lain;‎‏ ‏untuk menambah keputusan dan penjelasan (al-qasd ilâ ziyâdah ‎al-taqrîr wa al-îdâh) seperti dalam sûrah al-Ahqâf/ 46: 26;‎
‏{ وَلَقَدْ مَكَّنّهُمْ فِيْمَا إِنْ مَّكَّنّكُمْ فِيْهِ وَجَعَلْنَا لَهُمْ سَمْعًا وَأبْصرًا وَأَفْئِدَةً فَمَا أَغْنَى عَنْهُمْ سَمْعُهُمْ وَلاَ أَبْصرُهُمْ وَلاَ ‏أَفْئِدَتُهُمْ مِنْ شَىْءٍ إِذْ كَانُوا يَجْحَدُوْنَ بِأياتِ اللهِ }‏
‎“ Dan sesungguhnya Kami telah meneguhkan kedudukan mereka dalam hal-hal ‎yang Kami belum pernah meneguhkan kedudukanmu dalam hal itu dan Kami ‎telah memberikan kepada mereka pendengaran, penglihatan dan hati; tetapi ‎pendengaran, penglihatan dan hati mereka itu tidak berguna sedikit juapun bagi ‎mereka, karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah”.‎

Penyebutan kembali kata “pendengaran, penglihatan, dan hati” dalam ayat ini ‎sebagai menambah keputusan dan penjelasan bahwa ketiga alat ini yang merupakan ‎pemberian Allâh kepada mereka (yaitu orang-orang musyrik), benar-benar tidak berguna, ‎karena mereka gunakan untuk mengingkari tanda-tanda kebesaran-Nya sehingga mereka ‎pun mendapat siksaan di akherat yang dahulunya mereka selalu memperolok-olok siksaan ‎itu. ‎
Sedangkan alasan penyebutan (dzikr) al-musnad pada kalimat sengaja tidak ‎dibahas penulis karena kurang signifikansinya dengan apa yang akan dikaji dalam tesis ‎ini.‎
‎2) al-taqdîm dan al-ta′khîr (susun balik)‎
    Kalâm atau perkataan terdiri dari beberapa kalimat dan bagian-bagiannya, tidak ‎mungkin perkataan tersebut diucapkan sekaligus tanpa ada bagian-bagiannya yang ‎diucapkan dahulu atau yang diakhirkan.‎
Alasan adanya al-taqdîm dan al-ta′khîr dalam perkataan untuk tujuan-tujuan ‎balâghah antara lain; ifâdah al-takhsîs (manfaat dalam pengkhususan), dan taqdîm al-fadl ‎wa al-maziyyah (mendahulukan keutamaan dan kelebihan). ‎
‎3) al-ta‘rîf dan al-tankîr (ketakrifan dan bukan ketakrifan)‎
    Asal dalam al-musnad ilaih adalah berupa al-ma‘rifah atau dengan kata lain al-‎musnad ilaih adalah hal yang dianggap sama-sama diketahui oleh pembicara dan ‎pendengar dalam situasi komunikasi. al-Ma‘rifah atau al-ta‘rîf terjadi dalam berbagai ‎aspek. Dalam balâghah, al-musnad ilaih yang berupa al-ta‘rif menggunakan al-idmâr, ism ‎‎‘alam, mausûl, isyârah, lâm al-ta‘rîf dan idâfah, yang keseluruhannya memiliki tujuan-‎tujuan tertentu. Contoh ta‘rîf al-musnad ilaih dengan menggunakan lâm al-isyârah yang ‎berupa lâm al-haqîqah dalam sûrah al-Najm/ 53: 11;‎
‏{ مَا كَذَبَ اْلفُؤَادَ مَا رَأَى }‏
‎“ Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya “. (QS. 53: 11)‎
Huruf lâm pada ( ‎الفؤاد‎ ) menunjukkan hakekat al-fu′âd atau hati, yaitu hati Nabi saw.‎
    Sedangkan al-musnad ilaih dalam bentuk al-tankîr berupa; al-ifrâd, al-jins, al-‎taktsîr, al-ta‘zîm, al-tahqîr, dan al-taqlîl.‎

‎4) ahwâl muta‘alliqât al-fi‘l ‎
Kedudukan al-fi‘l (kata kerja) dalam bahasa Arab sangat penting, karena ‎ungkapan-ungkapan bahasa itu bersandar kepadanya, dari al-fi‘l inilah terbentuk banyak ‎makna. Selain terbagi dalam pembagian kala, al-fi‘l juga terbagi menjadi al-muta‘addiy ‎dan al-lâzim. Fi‘l al-lâzim adalah kata kerja yang tidak membutuhkan maf‘ûl (obyek), ‎sedangkan al-fi‘l muta‘addiy adalah kata kerja yang membutuhkan satu maf‘ûl  atau lebih.‎
    Terkadang dalam ungkapan balâghah, fi‘l muta‘addiy tidak membutuhkan obyek, ‎dan ia bergeser seakan-akan menjadi fi‘l lâzim.‎ ‎ Bentuk-bentuk semacam ini dalam kajian ‎al-ma‘âniy oleh ahli balâghah fase kedua disebut dengan ahwâl muta‘alliqât al-fi‘l. ‎Sedangkan kajian seperti ini menurut al-Zamakhsyariy disebut al-ikhtisâs dan menurut Ibn ‎al-Atsîr disebut al-ikhtisâs atau murâ‘ât nazm al-kalâm.‎

‎5) al-qasr ‎
Kalimat khabar dikukuhkan dengan berbagai macam cara, diantaranya dengan ‎gaya bahasa al-qasr. Secara etimologis, al-qasr berarti “al-habs wa al-ilzâm” atau ‎‎“pemblokiran dan pelaziman”. Dan secara etimologis, al-qasr adalah pengkhususan ‎sesuatu terhadap lainnya dengan cara tertentu.‎
Gaya bahasa al-qasr memiliki dua unsur pokok yang disebut dengan dua tarf al-‎qasr, yaitu al-sifah dan al-masûf. Pembagian al-qasr pun berdasarkan al-haqîqah dan al-‎idâfah, kondisi al-mukhâtab, dan dua tarfnya.‎
Untuk menghasilkan kalimat al-qasr dapat dilakukan dengan berbagai cara, di ‎antaranya yang populer ada empat; 1) menggunakan huruf negasi dan lafal pengecualian, ‎‎2) menggunakan lafal innamâ, 3) menggunakan ‘atf dengan huruf la, bal atau lâkin, dan ‎‎4) mendahulukan yang seharusnya diakhirkan. ‎

‎6) al-fasl dan al-wasl ( pemisahan dan penyambungan )‎
al-Fasl secara etimologis berarti “putus atau pisah”, sedangkan al-wasl berarti ‎‎“menyambung atau menghubungkan”. Secara terminologis pengertian keduanya sebagai ‎berikut; al-wasl adalah menghubungkan sebagian kalimat dengan lainnya sedangkan al-‎fasl tidak menghubungkannya.‎ ‎ Pendapat lain mengatakan: alwasl adalah menghimpun ‎suatu kalimat dengan lainnya menggunakan huruf wâwu sedangkan al-fasl tidak ‎menghimpunnya.‎
Untuk menangkap suatu kalimat termasuk dalam kategori al-wasl atau al-fasl ‎seseorang harus memiliki dua kriteria pokok yaitu; pertama, pengetahuan terhadap ‎pendayagunaan kata sebagaimana yang ada pada diri seorang penulis, atau penyair, atau ‎pembicara. Dan kedua, pengetahuan yang mendalam terhadap sintaksis dan balâghah. ‎
al-Fasl terjadi pada beberapa ketentuan, antara lain; pertama, kedua kalimat ‎merupakan kesatuan utuh, yakni kalimat kedua merupakan penguat, atau penjelas, atau ‎pengganti kalimat pertama. Kondisi ini disebut dengan hubungan yang sempurna (kamâl ‎al-ittisâl), contoh dalam sûrah al-Qasas/ 28: 10;‎
‎ “ Dan menjadi kosonglah hati ibu Musa. Sesungguhnya hampir saja ia ‎menyatakan rahasia tentang Musa”. (QS. 28: 10)‎
‎ ‎
Kalimat kedua pada ayat ini “sesungguhnya hampir saja ia menyatakan rahasia ‎tentang Musa” merupakan pengganti dari kalimat pertama “Dan menjadi kosonglah hati ‎ibu Musa”. Karena menceritakan rahasia Musa adalah bagian dari salah satu kekhawatiran ‎hatinya, sebab Musa adalah anaknya. Dengan demikian kedua kalimat tersebut harus ‎dipisahkan karena memiliki hubungan yang erat.‎
Kedua, kalimat kedua merupakan jawaban dari pertanyaan yang disebutkan atau ‎dipahami dari kalimat pertama. Kondisi ini disebut dengan serupa hubungan yang erat ‎‎(syibh kamâl al-ittisâl). ‎
Kalimat berbentuk penyambungan (wasl) terjadi juga dengan beberapa ketentuan ‎yang antara lain; apabila kedua kalimat itu sama-sama khabariyah atau insyâ'iyah yang ‎memiliki kaitan sempurna pada makna dan tidak ada sebab yang mengharuskan terjadinya ‎dipisah (fasl). Contoh dalam sûrah al-An‘âm/ 6: 113;‎
‎ “Dan (juga) agar hati kecil orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan ‎akhirat cenderung kepada bisikan itu, mereka merasa senang kepadanya dan ‎supaya mereka mengerjakan apa yang mereka (syaitan) kerjakan ”. (QS. 6: 113)‎

Kalimat pertama “Dan (juga) agar hati kecil orang-orang yang tidak beriman ‎kepada kehidupan akhirat cenderung kepada bisikan itu”, serta kalimat kedua “mereka ‎merasa senang kepadanya dan supaya mereka mengerjakan apa yang mereka (syaitan) ‎kerjakan” adalah sama-sama kalimat khabariyah dan memiliki keterkaitan yang erat serta ‎tidak ada sebab yang mengharuskan pemisahan (fasl).‎

‎7) al-îjâz, al-itnâb, dan al-musâwâh ‎
al-Îjâz adalah mengucapkan maksud dengan lafal yang lebih singkat dari yang ‎biasa, tetapi sangat jelas maksudnya.‎ ‎ Dan kalimat dalam bentuk îjâz ada dua macam, ‎yakni; îjâz qisâr dan îjâz hadzf. Îjâz qisâr adalah îjâz yang menggunakan ungkapan ‎pendek, namun mempunyai makna banyak, tanpa disertai pembuangan (beberapa kata ‎atau kalimatnya). Contoh dalam sûrah al-A‘râf/ 7: 54;‎
‏{ أَلاَ لَهُ الْخَلْقُ وَ اْلأَمْرُ }  ‏
‎“Ingatlah yang menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allâh”.(QS. 7:54)‎
    Dalam ayat ini, Allâh mengungkap dua kata, yakni “menciptakan” dan ‎‎“memerintah”. Kedua kata tersebut singkat tapi padat (mencakup banyak makna), yaitu ‎mencakup segala sesuatu dan segala urusan.‎
    Sedangkan îjâz hadzf adalah îjâz dengan cara membuang sebagian kata atau ‎kalimat disertai indikator yang menunjukkan adanya lafal yang dibuang tersebut. Contoh ‎yang dibuang sebagian katanya dalam sûrah Hûd/ 11: 120;‎
‏{وَجَآءَكَ فِي هذِهِ الْحَقُّ }  ‏
    ‎“dan dalam ini telah datang kepadamu kebenaran”. (QS. 11: 120)‎
    Pada ayat ini terdapat pembuangan sebagian kata dari keseluruhan ungkapan ‎Allâh tersebut, sebab diperkirakan asal kalimatnya adalah :‎
‏{ وَجَآءَكَ فِي هذِهِ (السورة) الْحَقُّ } ‏
Dalam ayat ini ada kata yang dibuang yaitu ( ‎السورة‎ ) yang berarti sûrah.‎
al-Itnâb adalah ungkapan yang menggunakan lafal tambahan dari makna aslinya ‎yang dimaksud karena ada tujuan tertentu.‎ Contoh dalam sûrah Nûh/ 71: 28;‎
‏{ رَبِّ اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِمَنْ دَخَلَ بَيْتِيَ مُؤْمِنًا وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ}  ‏
‎“Ya Tuhanku, ampunilah aku, ibu-bapakku, orang-orang yang masuk kerumahku ‎dalam keadaan beriman, dan semua orang mukmin laki-laki dan perempuan”. ‎‎(QS. 71: 28)‎

Ayat ini menggunakan perkataan yang lebih dari makna aslinya yang dimaksud. ‎Perkataan tersebut yaitu kalimat “ ‎لوالديّ‎ “ yang merupakan itnâb, karena maknanya sudah ‎tercakup pada keumuman kalimat “ ‎للمؤمنين والمؤمنات‎ “.‎
Menyampaikan ungkapan kepada komunikan melalui gaya bahasa itnâb bisa ‎dilakukan dengan berbagai teknik, antara lain; 1) menyebutkan lafal yang khusus setelah ‎lafal yang umum, 2) menyebutkan lafal yang umum setelah lafal yang khusus, 3) ‎menyebutkan lafal yang jelas maknanya setelah lafal yang tidak jelas maknanya,  4) ‎mengulangi penyebutan suatu lafal (al-tikrâr), 5). menyisipkan anak kalimat ke tengah-‎tengah induk kalimat atau antara dua kata yang berkaitan, dan anak kalimat tersebut tidak ‎memiliki jabatan kata (kedudukan dalam i‘râb). ‎
al-Musâwah adalah ungkapan yang makna-maknanya seukuran dengan lafal-‎lafalnya dan sebaliknya tidak lebih dan tidak kurang, seperti dalam sûrah al-Baqarah/ 2: ‎‎110; ‎
‏{ وَمَا تُقَدِّمُوْا ِلأَنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوْهُ عِنْدَ اللهِ } ‏
‎“Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu tentu kamu akan ‎mendapatkan pahalanya di sisi Allâh”. (QS. 2: 110)‎
Ayat ini susunan katanya sesuai dengan makna yang dikehendaki, bila ditambah ‎satu kata saja maka akan tampak kelebihan dan menimbulkan kerancuan. Begitu juga, bila ‎dikurangi satu kata saja maka akan mengurangi maknanya dan menimbulkan kerancuan ‎pula. Kalimat semacam ini disebut dengan al-musâwah.   ‎