Blog Archive
( AL-MA´ÂNIY ) DAN KAJIANNYA
A. Pengertian Balâghah
Ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh para linguis Arab dalam menjelaskan makna balâghah. Secara etimologis balâghah artinya “sampai pada suatu tempat”, sebagaimana dikatakan:
" بَلَغَ فُلاَنٌ مُرَادَهُ –إذا وصل إليه-، وَبَلَغَ الرَّكْبُ الْمَدِيْنَةَ –إذا انتهى إليها "
“Fulan telah mencapai tujuannya dan kendaraan telah sampai kota “ .
Kata balâghah diambil dari kata “bulûgh” yang berarti “sampai”, seperti :
" بلغتُ الْمَكَانَ بُلُوْغًا أي وَصَلْتُ إِلَيْهِ "
“ Saya telah mencapai pada suatu tempat “ .
Kemudian kata ini mengalami perubahan; semulanya mengacu kepada makna yang konkrit (dunia nyata) kemudian kepada makna metafora, sehingga tercakup dalam banyak makna . Bukan hanya bermakna sampai pada suatu tempat, tetapi juga bisa diartikan seseorang yang telah berhasil menyampaikan suatu makna dengan ungkapan yang bagus.
Secara terminologis, kata balâghah berarti:
" وَضْعُ الْكَلاَمِ فِي مَوْضِعِهِ مِنْ طُوْلٍ وَإِيجازٍ، وتأديةُ المعنى أداءً واضحا بعبارةٍ صحيحةٍ فصيحةٍ، لها في النفس أثرٌ خلابٌ، مع ملاءمة كلّ كلام للمقام الذى يقال فيه، وللمخاطبين به ".
“ Menempatkan perkataan pada tempatnya berupa perkataan panjang atau ringkas, dan menyampaikan makna secara jelas dengan ungkapan yang benar dan fasih, memiliki pengaruh kuat yang memikat hati disertai dengan kesesuaian pada setiap perkataan dengan tempat dimana perkataan tersebut diucapkan dan dengan orang-orang yang diajak berbicara “.
B. Balâghah dan Fasâhah Sebagai Tolok Ukur Sastra
Secara historis, kajian balâghah dalam perkembangannya mengalami dua fase, yaitu; pertama, ketika kata “balâghah” adalah sama dengan kata “fasâhah” menurut para pendahulu dari masa Sibawaîh (w. 180 H.) hingga masa sebelum al-Sakâkiy (w. 626 H.). Pembahasan balâghah pada fase ini masih bercampur dan belum terbagi menjadi tiga ilmu sebagaimana yang dikenal pada saat ini. Terkadang pembahasan ketiga ilmu ini disebut dengan al-badî‘ sebagaimana dikemukakan oleh Ibn al-Mu‘taz, pada waktu lain disebut al-bayân sebagaimana diungkap al-Jâhiz, atau ‘ilm al-naqd sebagaimana dikatakan Qudâmah Ibn Ja‘far, bahkan Abû Hilâl al-‘Askariy menyebutnya dengan ilmu Sinâ‘atai al-Syi‘r wa al-Natsr. Fase kedua, ketika ada upaya-upaya dari para ahli balâghah yang mengkaji buku Ibn al-Mu‘taz yang berjudul “al-Badî‘”, kemudian mereka mengkhususkan, membatasi, memperluas, dan memasukkan pembahasan balâghah ke dalam bab-bab tersendiri yang dimotori oleh al-Sakâkiy pada masa akhir dinasti ‘Abasiyah. Sehingga mereka pun dapat membedakan kata “balâghah” dan “fasâhah”.
Secara etimologis, kata “al-fasâhah” berarti tampak dan jelas (al-zuhûr wa al-ibânah). Sedangkan secara terminologis, kata tersebut tergantung pada penggunaannya yang terdapat pada kata, atau perkataan, atau pembicara.
al-Marâghiy menjelaskan beberapa kriteria suatu kata dapat dikategorikan mencapai tingkatan kefasihan (fasâhah) apabila terbebas dari empat hal:
1) Kata yang sukar atau berat diucapkan (tanâfur al-hurûf), misalnya kata الهُعْخُعُ atau tumbuh-tumbuhan yang hitam. Kata semacam ini berat untuk diucapkan bagi orang Arab, dan kata semacam ini ada dua macam; berat sekali diucapkan, seperti الصَمْعَمِعُ (kepala yang kecil), atau terlalu ringan diucapkan, seperti النَّقَاحُ (air yang jernih).
2) Kata yang sukar dipahami artinya, aneh, dan jarang dikenal oleh orang Arab kebanyakan (gharâbah al-lafz). Misalnya ucapan orang Badui;
مَا لَكُمْ تَكَأْكَأْتُمْ عَلَيَّ كَتَكَأْكُئِكُمْ عَلَى ذِىْ جِنَّةٍ اِقْرَنْقِعُوا
Kata تَكَأْكَأْتُمْ dan اِفْرَنْقِعُوْا merupakan kata yang aneh bagi orang Arab. Juga kata yang aneh lainnya seperti بُعَاقٌ (hujan), جردحل (oase), dan sebagainya.
3) Kata yang melanggar kaidah-kaidah morfologis yang terdapat pada ucapan orang Arab (mukhâlafah al-qiyâs), seperti kata الأجلل yang seharusnya menjadi الأجلّ, dan lain sebagainya.
4) Kata yang tidak sedap didengar telinga orang Arab (al-Karâhah fi al-sam’), seperti kata الجَرَشِيُّ yang berarti النفس (jiwa).
Sedangkan kriteria kefasihan (fasâhah) suatu perkataan, dapat tercapai apabila perkataan tersebut terbebas dari beberapa hal berikut;
1) Kalimat atau perkataan yang sukar atau berat diucapkan (tanâfur al-kalimah), misalnya puisi al-Jâhiz berikut;
وَقَبْرُ حَرْبٍ بِمَكَانٍ قَفْرُ # وَلَيْسَ قُرْبَ قَبْرِ حَرْبٍ قَبْرُ
“Kuburan musuh harus di tempat yang sunyi, dan tidak ada kuburan lain di dekat kuburan itu”.
2) Susunan kalimatnya melanggar atau menyalahi kaidah-kaidah sintaksis (du‘f al-ta′lîf), seperti bergandengannya dua pronomina (damîr) dalam puisi al-Mutanabbiy berikut;
خَلَّتِ اْلبِلاَدُ مِنَ الْغَزَالَةِ لَيْلَهَا # فَأَعَاضَهَاكَ اللهُ كَيْ لاَ تَخْزَنَا
“Ketika negaramu telah terbenam mataharinya pada malam hari, maka semoga Allah menggantikannya untukmu agar engkau tidak sedih”.
Pada kata فَأَعَاضَهَاكَ terdapat dua pronomina (damîr) yaitu “ها” dan “الكاف” yang bergandengan, susunan kalimat semacam ini menyalahi kaidah sintaksis.
3) Susunan kalimatnya cacat atau tidak sempurna sehingga tidak dapat dipahami maksudnya, atau ia dapat dipahami setelah mengalami kesulitan dan kesukaran (al-ta‘qîd al-lafziy). Atau dengan kata lain melanggar kaidah-kaidah sintaksis secara luas, seperti puisi al-Farazdaq berikut ketika memuji Ibrâhîm Ibn Hisyâm al-Makhzûmiy;
وَمَا مِثْلُهُ فِي النَّاسِ إِلاَّ مُمَلَّكًا # أَبُوْ أُمِّهِ حَيٌّ أَبُوْهُ يُقَارِبُهُ
Seharusnya susunan kalimatnya berbunyi;
وَمَا مِثْلُهُ فِي النَّاسِ حَيٌّ يُقَارِبُهُ # إِلاَّ مُمَلَّكًا أَبُوْ أُمِّهِ أَبُوْهُ
“Tiada seorang pun yang menyerupainya, kecuali raja yang bapak ibunya masih hidup, yaitu bapaknya (Ibrahim) yang menyerupai dia”.
4) Perpindahan makna denotatif ke makna konotatif yang kurang jelas atau masih samar (al-ta‘qîd al-ma‘nawiy). Hal ini akan menyebabkan cacat pada makna konotatif tersebut, misalnya puisi al-‘Abbâs Ibn al-Ahnâf berikut;
سَأَطْلُبُ بَعْدَ الدَّارِ عَنْكُمْ لِتَقْرَبُوْا # وَتَسْكُبُ عَيْنَايَ الدُّمُوْعَ لِتَجْمُدَا
“Aku akan mencari tempat yang jauh dari kamu sekalian, agar kamu sekalian dekat denganku dan supaya kedua mataku mencucurkan air mata, kemudian menjadi beku”.
Mencucurnya air mata sebagai bukti kesedihan dan kepedihan seseorang ketika berpisah, namun sang penyair tidak tepat ketika membuat metonimie (kinâyah) terhadap makna detonatif “beku” sebagai ungkapan makna konotatifnya yaitu “bakhil atau pelit”, sebab pada puisi tersebut akan dipahami makna konotatif lainnya yaitu “gembira”.
Sedangkan kriteria ketiga yaitu kefasihan pembicara (fasahah al-mutakallim) adalah kemampuan yang dimiliki seorang pembicara dalam mengungkapkan maksud-maksud dan gagasan-gagasannya dengan menggunakan kata dan kalimat yang fasîh. Atau dengan kata lain kefasihan (fasâhah) merupakan sifat yang dimiliki dan tertanam di dalam diri pembicara yang selalu menemaninya pada setiap situasi dan kondisi, jika terpisah darinya, maka ia tidak memiliki kemampuan tersebut, sehingga tidak dapat dikatakan sebagai pembicara (mutakallim) yang fasîh.
Hal senada dengan kriteria kefasihan pembicara di atas, Gorys Keraf mengungkapkan beberapa syarat dalam pendayagunaan kata dan ketepatan pilihan kata (diksi), serta syarat-syarat pendayagunaan kata dan kesesuaian pilihan kata (diksi) yang hendaknya diperhatikan seseorang agar ia dapat mencapai ketepatan dan kesesuaian pilihan katanya, antara lain: membedakan secara cermat denotasi dari konotasi, membedakan dengan cermat kata-kata yang hampir bersinonim, membedakan kata yang mirip dengan ejaannya, atau kata-kata yang mirip dalam tulisannya, menghindari kata-kata ciptaan sendiri ,membedakan kata umum dan kata khusus. mempergunakan kata-kata indria yang menunjukkan persepsi yang khusus, memperhatikan perubahan makna yang terjadi pada kata-kata yang sudah dikenal dan memperhatikan kelangsungan pilihan kata.
Lebih lanjut dalam hal kesesuaian pilihan kata (diksi), ia menjelaskan syarat-syaratnya, antara lain: menghindari sejauh mungkin bahasa atau unsur substandar dalam suatu situasi yang formal, menggunakan kata-kata ilmiah dalam situasi yang khusus saja, menghindari kata-kata “jargon” dalam tulisan untuk pembaca umum, dan menjauhi kata-kata atau bahasa yang artifisial.
Sebagaimana penulis singgung sebelumnya bahwa pada awalnya para ahli balâghah tidak membedakan antara makna kata “fasâhah” dengan kata “balâghah”, seperti ‘Abd al-Qâhir al-Jurjâniy tidak membedakan makna kata keduanya, namun Ibn Sinân al-Khafâjiy dalam bukunya “Sirr al-Fasâhah” sebagaimana dikutip oleh Mustafâ Muslim mengemukakan perbedaan antara kedua istilah tersebut, fasâhah adalah sesuatu yang tersimpan dalam kata-kata, sedangkan balâghah adalah sesuatu yang bukan hanya terkandung dalam kata, tetapi juga dalam makna. Jadi setiap kalimat atau ungkapan balîgh, sudah pasti fasîh, tetapi setiap ungkapan yang fasîh, belum tentu bisa disebut balîgh.
Pada perkembangan berikutnya para ahli balâghah merinci dan membedakan kedua istilah tersebut, diantaranya ‘Abd al-‘Azîz ‘Atîq yang menyimpulkan perbedaan kedua istilah tersebut bahwa fasâhah tersimpan dalam kosa kata, perkataan, dan diri pembicara sehingga dapat dikatakan; kosa kata yang fasîh, perkataan yang fasîh, dan seorang pembicara yang fasîh. Sementara balâghah tersimpan dalam perkataan dan diri pembicara saja, maka dapat dikatakan; perkataan yang balîgh, dan pembicara yang balîgh.
Ada juga yang mengidentikkan balâghah dengan ilmu retorika, menurut Gorys keraf retorika adalah suatu teknik pemakaian bahasa sebagai seni, baik lisan maupun tertulis, yang didasarkan pada suatu pengetahuan yang tersusun baik. Dan tujuan retorika adalah menerangkan kaidah-kaidah yang menjadi landasan dari tulisan yang bersifat prosa atau wacana lisan yang berbentuk pidato atau ceramah, untuk mempengaruhi sikap dan perasaan orang.
Balâghah merupakan suatu disiplin ilmu yang berlandaskan kepada kejernihan jiwa dan ketelitian menangkap keindahan dan kejelasan perbedaan yang samar diantara macam-macam ungkapan. Dapat dikatakan bahwa perbedaan antara seorang yang ahli balâghah dengan seorang pelukis hanya terletak pada bidang garapannya saja. Ahli balâghah mengolah kalimat dan pembicaraan untuk diperdengarkan, sedangkan seorang pelukis mengolah warna dan bentuk untuk diperlihatkan. Di sisi lain mereka adalah sama. Seorang pelukis ketika berhasrat untuk melukis sesuatu, berfikir tentang warna yang tepat dan mengkombinasikan warna-warna itu sehingga sedap untuk dipandang dan menarik perhatian. Dan seorang ahli balâghah bila hendak menyusun sebuah syair, makalah, atau pun teks pidato, maka dia akan berfikir tentang kerangka pembicaraannya, kemudian disusunnyalah kata-kata dan ungkapan yang mudah dicerna yang pada akhirnya nanti dapat mempengaruhi audiens.
Dari penjelasan diatas dapat diraba unsur-unsur yang ada pada balâghah, yaitu; kata, makna, susunan kalimat yang mengandung kekuatan dan pengaruh positif, dan ketajaman dalam pemilihan kata dan gaya bahasa yang sesuai dengan tempat, isi dan kondisi pendengar, serta kekuatan pengaruh ke dalam jiwa dan keindahan. Kekuatan pengaruh tersebut bukan pada kata atau makna saja, tetapi terletak pada hubungan yang saling terkait antara kata dan makna serta pengaruh yang lazim terjadi karena adanya kesesuaian dan keserasian kata dan makna.
Dalam kajian sastra, balâghah merupakan sifat dari perkataan (kalâm) dan pembicara (mutakallim), sehingga muncul sebutan kalâm balîgh dan mutakallim balîgh.
Balâghah dalam kalâm menurut para pendahulu adalah; “Kesesuaian atau kecocokannya terhadap situasi dan kondisi disertai dengan kefasihannya”.
Dalam arti bahwa kalâm itu sesuai dengan situasi dan kondisi para pendengar. Perubahan situasi dan kondisi para pendengar menuntut perubahan susunan kalam, seperti situasi dan kondisi yang menuntut kalâm itnâb tentu berbeda dengan situasi dan kondisi kalâm îjâz, berbicara kepada orang cerdas tentu berbeda dengan orang dungu, tuntutan gaya bahasa fasl meninggalkan khitâb wasl, tuntutan taqdîm tidak sesuai dengan ta′khîr; demikian seterusnya untuk setiap situasi dan kondisi ada kalâm yang sesuai dengannya.
Oleh karena itu, dalam hal ini para ahli balâghah pada masa kedua fase di atas seperti; al-Jâhiz, Abû ‘Ubaidah, al-Bâqalâniy, al-Zamakhsyariy, al-Sakâkiy, al-Maraghiy, dan sebagainya sepakat membagi kalâm baligh menjadi tiga tingkatan; Pertama, tingkatan yang paling tinggi yang penuh dengan kemukjizatan yaitu kalâm Allâh swt yang tidak dapat ditiru oleh makhluk-Nya. Kedua, tingkatan dibawahnya yaitu kalâm rasûlullah saw. Dan tingkatan ketiga, yaitu ucapan para ahli balaghah dari bangsa Arab masa jahiliyah dan masa Islam.
Sedangkan balâghah dalam pembicara (mutakallim) adalah kemampuan dan pendayagunaan di dalam diri pembicara sehingga dapat menghasilkan kalam yang fasîh dan balîgh. Balâghah mencakup kefasihan baik dalam kalâm maupun dalam diri pembicara, jika keduanya balîgh maka keduanya juga fasîh, sebab dalam balâghah harus mencakup kefasihan perkataan (kalâm) dan pembicara (mutakallim). Dan nilai balâghah untuk setiap kalâm bergantung kepada sejauh mana kalâm itu dapat memenuhi tuntutan situasi dan kondisi, setelah memperhatikan kefasihannya. Demikian antara balâghah dan fasâhah saling terkait.
Sastra Arab disebut juga dengan adab ‘arabiy, sedangkan penilaian terhadap sastra Arab disebut naqd al-adab, dan orang yang melakukan penilaian terhadap sastra Arab disebut nâqid. Nâqid adalah orang yang memiliki kemampuan untuk membedakan kalâm yang baik dan yang jelek dengan bersandar kepada anugerah seninya, perasaannya yang lembut dan pengalamannya yang banyak dalam menekuni teks-teks sastra Arab dan peninggalan-peninggalan sastra. Balâghah dan fasâhah merupakan tolok ukur sastra Arab, pada keduanya norma baik dan buruk karya sastra Arab bersandar.
C. Ruang Lingkup Pembahasan Ilmu Balâghah
Mayoritas buku balâghah yang ada pada saat ini sepakat atas pembagian ilmu balâghah menjadi tiga ilmu yang masing-masing berdiri sendiri dengan pembahasannya, sebagaimana yang dikenal, yaitu; ‘ilm al-ma‘âniy, ‘ilm al-bayân, dan ‘ilm al-badî‘. Pembahasan ketiga ilmu ini sebagai berikut ;
1) ‘Ilm al-Ma‘âniy
Para ahli balâghah sejak masa fase kedua mendefinisikan ‘ilm al-ma‘âniy sebagai ilmu yang mempelajari tentang hal-ihwal lafz bahasa Arab sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi. Definisi ini pertama kali dicetuskan oleh al-Khatîb al-Qazawainiy dalam bukunya al-îdâh.
Yang dimaksud dengan hal-ihwal lafz bahasa Arab adalah pola-pola susunan kalimat dalam bahasa Arab, seperti penggunaan al-taqdîm atau al-ta′khîr, penggunaan al-ma‘rifah atau al-nakirah, penggunaan al-dzikr atau al-hadzf, dan sebagainya. Sedangkan yang dimaksud dengan situasi dan kondisi adalah situasi dan kondisi pendengar (mukhâtab), seperti keadaan kosong dari suatu informasi, atau ragu-ragu, atau justru mengingkari informasi tersebut.
Pembahasan ‘ilm al-ma‘âniy meliputi tujuh macam, yaitu; 1) al-khabar, 2) al-insyâ′, 3) ahwâl al-musnad ilaih dan al-musnad, 4) ahwâl muta‘alliqât al-fi‘l, 5) al-qasr, 6) al-fasl dan al-wasl, 7) al-îjâz, al-itnâb, dan al-musâwâh.
Disini penulis akan memaparkan ketujuh macam tersebut secara ringkas namun padat, terutama hal-hal yang berkaitan dengan pembahasan tesis ini, yaitu yang berkaitan dengan studi analisis balâghah terhadap ayat-ayat al-Qur′ân yang di dalamnya ada kata al-fu′âd.
1) al-khabar (kalimat berita)
Susunan kalimat dalam bahasa Arab ada dua macam, yakni al-khabar dan al-insyâ′. al-Khabar dalam ‘ilm al-ma‘âniy adalah perkataan yang mungkin benar atau mungkin dusta dilihat dari perkataan itu sendiri. Dan dapat dikatakan pula bagi penutur perkataan tersebut, benar atau dusta, jika perkataan itu sesuai dengan kenyataan maka penuturnya benar dan jika tidak sesuai maka penuturnya dusta.
Penyampaian perkataan dalam bentuk kalimat berita (al-khabar) pada prinsipnya memiliki dua tujuan, yaitu;
a) Memberi tahu kepada mukhâtab tentang isi berita sedang ia tidak tahu tentang isi berita tersebut, disebut dengan fâ′idah al-khabar, sebagai contoh perkataan di bawah ini:
وُلِدَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْفِيْلِ وَأُوْحِيَ إِلَيْهِ فِي سِنِّ اْلأَرْبعِيْنَ
"Nabi saw. dilahirkan pada tahun Gajah dan diberi wahyu pada usia empat puluh tahun ".
b) Memberi tahu kepada pendengar (mukhâtab) tentang isi berita sedangkan ia telah mengetahui isi berita tersebut, disebut dengan lâzim al-fâ′idah, misalnya perkataan seseorang kepada orang lain; “Pada hari ini anda benar-benar bangun tidur pagi hari”.
Mayoritas ahli balâghah berpendapat bahwa selain dua tujuan tersebut, masih ada beberapa tujuan lain dalam penyampaian perkataan dalam bentuk kalimat berita (khabar) yang dapat dipahami dari konteks perkataan dan indikator kondisi perkataan itu, seperti; menampakkan kelemahan (izhâr al-du’f), meminta belas kasihan (al-istirhâm), menampakkan kesedihan (izhâr al-tahassur), memuji (al-madh), membanggakan diri (al-fakhr), memberikan peringatan (al-tahdzîr), dan sebagainya.
Namun pada prinsipnya kalimat berita (al-khabar) hanya memiliki dua tujuan pokok, yaitu yang disebut dengan “fâ′idah al-khabar” dan “lâzim al-fâ′idah”. Dua tujuan ini pada waktu yang sama memiliki makna tujuan lain sebagaimana tujuan-tujuan tersebut di atas.
Sebagai contoh, ucapan Nabi Zakariyâ as. ketika berbicara kepada Tuhannya yang digambarkan dalam sûrah Maryam/ 19: 4;
{ قَالَ رَبِّ إِنِّي وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّي وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا ... }
“Ia berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban …”. (QS. 19: 4)
Ayat ini merupakan kalimat berita (al-khabar) yang memiliki tujuan lâzim al-fâ′idah, karena Allâh swt. telah menciptakan Zakariya Maha Mengetahui bahwa tulangnya telah menjadi lemah dan kepalanya penuh dengan uban, dan Zakariya pada waktu yang sama juga meunjukkan tujuan lain menampakkan kelemahan dan ketidak berdayaannya (izhâr al-du’f).
Dalam bahasa Arab ada berbagai macam perangkat (al-adawât) yang menjadi pengukuh terhadap makna yang ada pada susunan kalimatnya. Perangkat (al-Adawât) yang merupakan pengukuhan pada kalimat berita (al-khabar) yakni;
( إِنَّ، ولاَمُ اْلاِبْتِدَاءِ، وأَمَّا الشَرْطِيَّة، والسِّيْن، وقَدْ التَّحْقِيْقِيَة، وضَمِيْرُ الْفَصْلِ، والْقَسَم، و نُوْنَا التَّوْكِيْد، الْحُرُوْفُ الزَّائِدَة، وأَحْرُفُ التَّنْبِيْهِ )
Ditinjau dari kondisi pendengar (mukhâtab), al-khabar terdiri dari tiga bentuk, pertama, bila kondisi pendengar (mukhâtab) lugu atau kosong dari informasi, penyampaian khabar dalam bentuk al-ibtidâ′iy yakni tanpa menggunakan pengukuhan. Kedua, bila kondisi pendengar (mukhâtab) ragu-ragu, penyampaian khabar perlu dalam bentuk al-talabiy yakni dengan menggunakan satu pengukuhan. Ketiga, bila kondisi pendengar (mukhâtab) tidak percaya atau mengingkari, penyampaian khabar dalam bentuk al-inkâriy, yakni menggunakan lebih dari satu pengukuhan sesuai dengan kadar keingkarannya.
2) al-insyâ′ (kalimat bukan berita)
Jika al-khabar adalah perkataan yang mungkin benar atau mungkin dusta dilihat dari perkataan itu sendiri. Sebaliknya al-insyâ′ adalah perkataan yang tidak bisa dikatakan benar atau dusta dilihat dari perkataan itu sendiri, maka tidak bisa dikatakan bagi penuturnya bahwa ia benar atau berdusta. Hal itu karena tidak ada suatu eksistensi luar yang sesuai atau tidak sesuai dengan perkataan tersebut sebelum diucapkan, misalnya beberapa kalimat berikut; " simaklah pelajaran di dalam kelas, janganlah engkau mencampuri urusan orang lain, hai teman! mari ke sini ”. Susunan kalimat ini, jika dicermati tidak ada di dalamnya perkataan benar atau dusta, tetapi di dalamnya ada perintah, larangan, dan seruan.
Kalimat bukan berita (al-insyâ′) ini terbagi menjadi dua macam, yaitu al-insyâ′ al-talabiy dan al-insyâ′ ghair al-talabiy.
al-Insyâ′ al-talabiy adalah perkataan yang menghendaki tuntutan yang belum terjadi pada saat menuntut. Dan yang semacam ini memiliki lima jenis pola; al-amr, al-nahy, al-istifhâm, al-tamanniy, dan al-nidâ′.
Terlebih dahulu penulis akan menjelaskan al-insyâ′ ghair al-talabiy., yaitu perkataan yang tidak menghendaki tuntutan yang belum terjadi pada saat menuntut. Perkataan semacam ini memiliki berbagai macam forma antara lain; uslûb al-madh dan al-dzamm (pujian dan hinaan), uslûb al-‘uqûd (kesepakatan dan perjanjian), uslûb al-qasam (sumpah), uslûb al-ta‘ajjub (kekaguman), af‘âl al-rajâ′ (kata kerja yang menunjukkan harapan).
Perbedaan yang signifikan antara kedua jenis al-insyâ′ ini, bahwa dalam al-insyâ′ al-talabiy keberadaan makna kalimatnya datang lebih lambat dari keberadaan lafalnya. Sedangkan dalam al-insyâ′ ghair al-talabiy keberadaan maknanya terjadi bersamaan dengan lafalnya pada waktu terjadinya lafal tersebut.
Mayoritas ahli balâghah mengklasifikasikan al-insyâ′ ghair al-talabiy ke dalam bagian al-khabar, kecuali gaya bahasa harapan (uslûb al-rajâ′) yang dianggap sebagai bagian dari al-insyâ′ al-talabiy. Bahkan mereka berpendapat bahwa al-insyâ′ ghair al-talabiy sebaiknya tidak dikategorikan ke dalam pembahasan ilmu balâghah karena alasan kurang signifikan dan lebih dekat menjadi pembahasan sintaksis (‘ilm al-nahw).
Para ahli ‘ilm al-ma‘âniy membatasi pembahasan al-insyâ′ al-talabiy ke dalam lima macam, yaitu: 1) al-amr, 2) al-nahy, 3) al-istifhâm, 4) al-tamanniy, 5) al-nidâ′. Ada juga yang menambahkan selain lima macam tersebut, seperti al-‘ard dan al-tahdîd. Namun lima macam yang pertama lebih banyak dipakai dan dibahas;
1) al-amr (perintah)
al-Amr adalah tuntutan untuk melakukan sesuatu dari atas ke bawah atau yang selazimnya. Untuk menghasilkan perkataan al-amr harus menggunakan bentuk-bentuk sebagai berikut;
a) fi‘l al-amr (kata kerja perintah), contoh dalam sûrah al-Baqarah/ 2: 43;
{وَأَقِيْمُوْا الصَّلوةَ وَءَاتُوْا الزَّكوةَ }
“Dan dirikanlah shalat, dan tunaikanlah zakat’”. (QS. 2:43)
b) fi‘l al-mudâri‘ yang diawali dengan lâm al-amr, contoh dalam sûrah al-Hajj/ 22: 29;
{ وَلْيُوْفُوْا نُذُوْرَهُمْ }
“Dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka”.(QS. 22: 29)
c) ism fi‘l amr, contoh dalam sûrah al-Mâ′idah/ 5: 105;
{عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ }
“Jagalah dirimu,”. (QS. 5: 105)
d) masdar pengganti fi‘l al-amr, contoh dalam sûrah al-Baqarah/ 2: 83;
{ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا }
“Berbuat baiklah kepada ibu bapak”. (QS. 2: 83)
Keempat macam ini merupakan bentuk-bentuk hakiki dalam perkataan atau kalimat al-amr. Dan jika dilihat dari konteks pembicaraan, al-amr terkadang bergeser dari makna asli, yakni perintah, kepada makna-makna lain, seperti hal-hal berikut ini:
a) al-du‘â′ (do’a), seperti do’a seorang hamba kepada Tuhannya, contoh dalam sûrah Ibrâhîm/ 14: 37;
{رَبَّنَا لِيُقِيْمُوا الصَلوةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِى إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِنَ الثَّمَرتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُوْنَ}
“ Ya Tuhan kami, (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepad mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur ”. (QS. 14: 37)
b) al-takhyîr (memilih), yaitu memilih satu di antara dua atau lebih, seperti ucapan seseorang kepada lainnya; “nikahlah engkau atau hidup membujang!”.
Dan masih banyak lainnya seperti; al-iltimâs, al-taswiyah, al-ibâhah, al-tahdîd, al-ta‘jîz, al-irsyâd, al-tamanniy, al-tahakkum, al-ta′dîb dan sebagainya..
2) al-nahy (larangan)
al-Nahy adalah tuntutan untuk meninggalkan sesuatu dari atas ke bawah atau yang selazimnya. Untuk menghasilkan perkataan al-amr harus menggunakan satu-satunya forma yang dimilikinya yaitu dalam bentuk fi‘l al-mudâri‘ yang diawali dengan huruf lâm al-nâhiyah, contohnya dalam sûrah al-An‘âm/ 6: 152;
{ وَلاَ تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيْمِ إِلاَّ بِالَّتِى هِيَ أَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ أَشُدَّهُ }
“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat hingga ia dewasa”. (QS. 6: 152)
Seperti halnya al-amr, bila dilihat dari konteks pembicaraan, al-nahy juga terkadang bergeser dari makna asli, kepada makna-makna lain, seperti;
a) al-du‘â‘ (do’a), terdapat di dalam perkataan dari orang yang di bawah kepada yang di atas, seperti do’a seorang hamba kepada Tuhannya, contoh dalam sûrah al-Baqarah/ 2: 286;
{ رَبّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا... }
“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau salah”.
b) al-irsyâd (nasehat), contoh dalam sûrah al-Isrâ′/ 17: 36;
{ وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَاْلبَصَرَ وَاْلفُؤَادَ كُلُّ أُولئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُوْلاً }
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya ”. (QS. 17: 36)
Dan masih banyak lainnya seperti; al-iltimâs, al-tamanniy, al-taubîkh, al-tai′îs, al-tahdîd, dan al-tahqîr yang tidak penulis bahas semuanya, contoh di atas sudah mewakili terhadap apa yang akan dikaji dalam tesis ini.
3) al-istifhâm (pertanyaan)
al-Istifhâm adalah mencari tahu tentang sesuatu yang belum diketahui sebelumnya. Untuk menghasilkan perkataan al-istifhâm harus menggunakan satu partikel (al-adât) dari partikel-partikel (al-adawât) yang dimilikinya yaitu:
( أدوات الاستفهام: الْهَمْزَة، وهَلْ، ومَتَى، وأَيَّانَ، وكَيْفَ، وأَيْنَ، وأَنَّى، وكَمْ، وأَيّ )
Bentuk al-istifhâm terbagi menjadi tiga macam;
Pertama, sesuatu yang dicari terkadang dalam bentuk al-tasawwur atau dalam bentuk al-tasdîq, perkataan dalam bentuk ini menggunakan huruf “al-hamzah”. Kedua, sesuatu yang dicari dalam bentuk al-tasdîq saja, menggunakan huruf “hal”. Ketiga, sesuatu yang dicari dalam bentuk al-tasawwur saja, maka menggunakan partikel-partikel yang tersisa, yaitu: matâ, ayyâna, kaifa, aina, annâ, kam, dan ayyu.
Dalam pembahasan al-istifhâm ini penulis tidak memaparkannya lebih luas, dengan alasan hubungan pembahasan al-istifhâm dengan apa yang akan dikaji penulis dalam tesis ini kurang signifikan.
4) al-tamanniy (angan-angan atau harapan)
al-Tamanniy adalah mengangan-angankan sesuatu yang diinginkan tetapi tidak ada harapan terjadi, baik karena mustahil terjadi atau jauh dari harapan memperolehnya. Ibn Hisyâm mengatakan sebagaimana dikutip ‘Abd al-Qâdir Husain, bahwa al-tamanniy mayoritasnya berkaitan dengan sesuatu yang mustahil dan sedikit sekali berkaitan dengan sesuatu yang mungkin terjadi.
Perangkat (adât) dalam al-tamanniy yang asli adalah laita ( لَيْتَ ), terkadang digunakan juga al-adawât yang lain seperti la‘alla ( لَعَلَّ ), hal ( هَلْ ), dan lau ( لَوْ ) karena alasan balâghah.
Lafal la‘alla digunakan di luar makna asli al-tamanniy, yaitu al-tarajjiy untuk mengangan-angan sesuatu yang disukai atau sesuatu yang dibenci. Contoh angan-angan sesuatu yang disukai terdapat di dalam sûrah Ibrâhîm/ 14: 37;
{ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِى إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِنَ الثَّمَرتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُوْنَ }
“Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur ”.
Lafal lau dapat juga digunakan diluar makna asli al-tamanniy, yaitu al-tarajjiy sebagaimana dalam contoh berikut;
1) sûrah al-Furqân/ 25: 32;
{ وَقَالَ الَّذِيْنَ كَفَرُوا لَوْ لاَ نُزِّلَ عَلَيْهِ اْلقُرْءانَ جُمْلَةً وَّاحِدَةً }
“Berkatalah orang-orang yang kafir: “Mengapa al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja”. (QS. 25: 32)
5) al-nidâ′ (panggilan/ seruan)
al-Nidâ′ adalah tuntutan hadir untuk menghadap dengan menggunakan kata yang berarti saya panggil. Untuk menghasilkan perkataan al-nidâ′ harus menggunakan salah satu partikel-partikel (al-adawât) al-nidâ′ yang berjumlah delapan, yaitu; hamzah, ay, yâ, â, ây, ayâ, hayyâ, dan wâ. Dalam pembahasan al-nidâ′ ini penulis juga tidak memaparkannya lebih luas, dengan alasan yang sama sebagaimana dalam pembahasan al-istifhâm.
3) ahwâl al-musnad ilaih dan al-musnad (kondisi klausa subyek dan prediket)
Setiap kalimat khabariyyah atau insyâ′iyyah, fi‘liyyah atau ismiyyah terdiri dari dua bagian pokok, yaitu al-musnad dan al-musnad ilaih. Dalam kajian balâghah posisi al-musnad ilaih lebih penting dan berharga daripada al-musnad, atau dengan kata lain al-musnad ilaih adalah dzâtnya (inti) sedang al-musnad sifahnya. Menurut logika (‘ilm al-mantîq) dzât sesuatu itu lebih kuat daripada sifahnya.
Posisi al-musnad ilaih pada kalimat antara lain sebagai; al-fâ‘il, nâ′ib al-fâ‘il, al-mubtada′ yang memiliki khabar, marfû‘ al-mubtada′ al-musytaq, sesuatu yang asalnya mubtada′, dan al-maf‘ûl al-awwal pada fi‘l yang memiliki dua maf‘ûl.
Posisi al-musnad pada kalimat antara lain sebagai; al-fi ‘l al-tâm, ism al-fi‘l, khabar al-mubtada′, al-mubtada′ yang tidak memiliki khabar, sesuatu yang asalnya khabar. Dan al-maf‘ûl al-tsâni pada fi‘l yang memiliki dua maf‘ûl
Keduanya merupakan dua bagaian pokok kalimat yang memiliki tujuan-tujuan balâghah selain tujuan-tujuan sintaksis. Adapun tujuan-tujuan kebalâghahannya berupa; al-dzikr dan al-hadzf, al-taqdîm dan al-ta′khîr, al-ta‘rif dan al-tankîr, al-taqyîd, dan al-qasr,
Untuk lebih jelasnya penulis bahas satu persatu.
1) al-hadzf (eliptik) dan al-dzikr (penyebutan)
Para ahli balâghah menyebutkan beberapa alasan mengapa al-musnad ilaih dihapus dalam kalimat dan tidak disebut di dalamnya, mayoritas terjadi ketika al-musnad ilaih pada posisi al-mubtada′ atau al-fâ‘il.
Terjadinya hadzf pada al-musnad ilaih pada posisi al-mubtada′ antara lain karena alasan al-ihtirâz ‘an al-‘abats, yaitu menghindari kalimat yang sia-sia, biasanya terjadi ketika al-musnad ilaih pada posisi jawaban dari kalimat al-istifhâm, atau setelah huruf al-fâ′ yang diawali dengan jawâb al-syart, atau setelah fi‘l al-qaul. Contoh dalam sûrah al-Humazah/ 104: 5-6;
{ وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْحُطَمَةُ، (هي) نَارُ اللهِ الْمُوْقَدَةُ }
Kata pronomina (dâmir) “ هي “ dihapus dalam kalimat ini.
Sedangkan terjadinya hadzf al-musnad ilaih pada posisi al-fâ‘il antara lain karena alasan keberadaan fâ‘il sudah diketahui oleh mukhâtab, seperti dalam sûrah al-Humazah/ 104: 7;
{ الَّتِى تَطَّلِعُ عَلَى اْلأَفْئِدَةِ }
“ Yang (membakar) sampai ke hati “. (QS. 104: 7)
Pronomina (damîr) yang merupakan subyek (fâ‘il) yang kembali kepada ayat sebelumnya tidak disebut, tetapi dihapus, dan pronomina (damîr) tersebut adalah musnad ilaih pada posisi subyek (fâ‘il).
Demikian pula hadzf al-musnad pada kalimat dapat terjadi karena beberapa hal, antara lain; al-ihtirâz ‘an al-‘abats, dan al-musnad merupakan jawaban yang berupa fi‘l dari pertanyaan untuk memastikan, dan sebagainya.
Asal al-musnad ilaih pada kalimat sebenarnya disebutkan dan tidak dihapus, kecuali pada alasan-alasan di atas. Sedangkan alasan dzikr (penyebutan) al-musnad ilaih dalam kalimat antara lain; untuk menambah keputusan dan penjelasan (al-qasd ilâ ziyâdah al-taqrîr wa al-îdâh) seperti dalam sûrah al-Ahqâf/ 46: 26;
{ وَلَقَدْ مَكَّنّهُمْ فِيْمَا إِنْ مَّكَّنّكُمْ فِيْهِ وَجَعَلْنَا لَهُمْ سَمْعًا وَأبْصرًا وَأَفْئِدَةً فَمَا أَغْنَى عَنْهُمْ سَمْعُهُمْ وَلاَ أَبْصرُهُمْ وَلاَ أَفْئِدَتُهُمْ مِنْ شَىْءٍ إِذْ كَانُوا يَجْحَدُوْنَ بِأياتِ اللهِ }
“ Dan sesungguhnya Kami telah meneguhkan kedudukan mereka dalam hal-hal yang Kami belum pernah meneguhkan kedudukanmu dalam hal itu dan Kami telah memberikan kepada mereka pendengaran, penglihatan dan hati; tetapi pendengaran, penglihatan dan hati mereka itu tidak berguna sedikit juapun bagi mereka, karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah”.
Penyebutan kembali kata “pendengaran, penglihatan, dan hati” dalam ayat ini sebagai menambah keputusan dan penjelasan bahwa ketiga alat ini yang merupakan pemberian Allâh kepada mereka (yaitu orang-orang musyrik), benar-benar tidak berguna, karena mereka gunakan untuk mengingkari tanda-tanda kebesaran-Nya sehingga mereka pun mendapat siksaan di akherat yang dahulunya mereka selalu memperolok-olok siksaan itu.
Sedangkan alasan penyebutan (dzikr) al-musnad pada kalimat sengaja tidak dibahas penulis karena kurang signifikansinya dengan apa yang akan dikaji dalam tesis ini.
2) al-taqdîm dan al-ta′khîr (susun balik)
Kalâm atau perkataan terdiri dari beberapa kalimat dan bagian-bagiannya, tidak mungkin perkataan tersebut diucapkan sekaligus tanpa ada bagian-bagiannya yang diucapkan dahulu atau yang diakhirkan.
Alasan adanya al-taqdîm dan al-ta′khîr dalam perkataan untuk tujuan-tujuan balâghah antara lain; ifâdah al-takhsîs (manfaat dalam pengkhususan), dan taqdîm al-fadl wa al-maziyyah (mendahulukan keutamaan dan kelebihan).
3) al-ta‘rîf dan al-tankîr (ketakrifan dan bukan ketakrifan)
Asal dalam al-musnad ilaih adalah berupa al-ma‘rifah atau dengan kata lain al-musnad ilaih adalah hal yang dianggap sama-sama diketahui oleh pembicara dan pendengar dalam situasi komunikasi. al-Ma‘rifah atau al-ta‘rîf terjadi dalam berbagai aspek. Dalam balâghah, al-musnad ilaih yang berupa al-ta‘rif menggunakan al-idmâr, ism ‘alam, mausûl, isyârah, lâm al-ta‘rîf dan idâfah, yang keseluruhannya memiliki tujuan-tujuan tertentu. Contoh ta‘rîf al-musnad ilaih dengan menggunakan lâm al-isyârah yang berupa lâm al-haqîqah dalam sûrah al-Najm/ 53: 11;
{ مَا كَذَبَ اْلفُؤَادَ مَا رَأَى }
“ Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya “. (QS. 53: 11)
Huruf lâm pada ( الفؤاد ) menunjukkan hakekat al-fu′âd atau hati, yaitu hati Nabi saw.
Sedangkan al-musnad ilaih dalam bentuk al-tankîr berupa; al-ifrâd, al-jins, al-taktsîr, al-ta‘zîm, al-tahqîr, dan al-taqlîl.
4) ahwâl muta‘alliqât al-fi‘l
Kedudukan al-fi‘l (kata kerja) dalam bahasa Arab sangat penting, karena ungkapan-ungkapan bahasa itu bersandar kepadanya, dari al-fi‘l inilah terbentuk banyak makna. Selain terbagi dalam pembagian kala, al-fi‘l juga terbagi menjadi al-muta‘addiy dan al-lâzim. Fi‘l al-lâzim adalah kata kerja yang tidak membutuhkan maf‘ûl (obyek), sedangkan al-fi‘l muta‘addiy adalah kata kerja yang membutuhkan satu maf‘ûl atau lebih.
Terkadang dalam ungkapan balâghah, fi‘l muta‘addiy tidak membutuhkan obyek, dan ia bergeser seakan-akan menjadi fi‘l lâzim. Bentuk-bentuk semacam ini dalam kajian al-ma‘âniy oleh ahli balâghah fase kedua disebut dengan ahwâl muta‘alliqât al-fi‘l. Sedangkan kajian seperti ini menurut al-Zamakhsyariy disebut al-ikhtisâs dan menurut Ibn al-Atsîr disebut al-ikhtisâs atau murâ‘ât nazm al-kalâm.
5) al-qasr
Kalimat khabar dikukuhkan dengan berbagai macam cara, diantaranya dengan gaya bahasa al-qasr. Secara etimologis, al-qasr berarti “al-habs wa al-ilzâm” atau “pemblokiran dan pelaziman”. Dan secara etimologis, al-qasr adalah pengkhususan sesuatu terhadap lainnya dengan cara tertentu.
Gaya bahasa al-qasr memiliki dua unsur pokok yang disebut dengan dua tarf al-qasr, yaitu al-sifah dan al-masûf. Pembagian al-qasr pun berdasarkan al-haqîqah dan al-idâfah, kondisi al-mukhâtab, dan dua tarfnya.
Untuk menghasilkan kalimat al-qasr dapat dilakukan dengan berbagai cara, di antaranya yang populer ada empat; 1) menggunakan huruf negasi dan lafal pengecualian, 2) menggunakan lafal innamâ, 3) menggunakan ‘atf dengan huruf la, bal atau lâkin, dan 4) mendahulukan yang seharusnya diakhirkan.
6) al-fasl dan al-wasl ( pemisahan dan penyambungan )
al-Fasl secara etimologis berarti “putus atau pisah”, sedangkan al-wasl berarti “menyambung atau menghubungkan”. Secara terminologis pengertian keduanya sebagai berikut; al-wasl adalah menghubungkan sebagian kalimat dengan lainnya sedangkan al-fasl tidak menghubungkannya. Pendapat lain mengatakan: alwasl adalah menghimpun suatu kalimat dengan lainnya menggunakan huruf wâwu sedangkan al-fasl tidak menghimpunnya.
Untuk menangkap suatu kalimat termasuk dalam kategori al-wasl atau al-fasl seseorang harus memiliki dua kriteria pokok yaitu; pertama, pengetahuan terhadap pendayagunaan kata sebagaimana yang ada pada diri seorang penulis, atau penyair, atau pembicara. Dan kedua, pengetahuan yang mendalam terhadap sintaksis dan balâghah.
al-Fasl terjadi pada beberapa ketentuan, antara lain; pertama, kedua kalimat merupakan kesatuan utuh, yakni kalimat kedua merupakan penguat, atau penjelas, atau pengganti kalimat pertama. Kondisi ini disebut dengan hubungan yang sempurna (kamâl al-ittisâl), contoh dalam sûrah al-Qasas/ 28: 10;
“ Dan menjadi kosonglah hati ibu Musa. Sesungguhnya hampir saja ia menyatakan rahasia tentang Musa”. (QS. 28: 10)
Kalimat kedua pada ayat ini “sesungguhnya hampir saja ia menyatakan rahasia tentang Musa” merupakan pengganti dari kalimat pertama “Dan menjadi kosonglah hati ibu Musa”. Karena menceritakan rahasia Musa adalah bagian dari salah satu kekhawatiran hatinya, sebab Musa adalah anaknya. Dengan demikian kedua kalimat tersebut harus dipisahkan karena memiliki hubungan yang erat.
Kedua, kalimat kedua merupakan jawaban dari pertanyaan yang disebutkan atau dipahami dari kalimat pertama. Kondisi ini disebut dengan serupa hubungan yang erat (syibh kamâl al-ittisâl).
Kalimat berbentuk penyambungan (wasl) terjadi juga dengan beberapa ketentuan yang antara lain; apabila kedua kalimat itu sama-sama khabariyah atau insyâ'iyah yang memiliki kaitan sempurna pada makna dan tidak ada sebab yang mengharuskan terjadinya dipisah (fasl). Contoh dalam sûrah al-An‘âm/ 6: 113;
“Dan (juga) agar hati kecil orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat cenderung kepada bisikan itu, mereka merasa senang kepadanya dan supaya mereka mengerjakan apa yang mereka (syaitan) kerjakan ”. (QS. 6: 113)
Kalimat pertama “Dan (juga) agar hati kecil orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat cenderung kepada bisikan itu”, serta kalimat kedua “mereka merasa senang kepadanya dan supaya mereka mengerjakan apa yang mereka (syaitan) kerjakan” adalah sama-sama kalimat khabariyah dan memiliki keterkaitan yang erat serta tidak ada sebab yang mengharuskan pemisahan (fasl).
7) al-îjâz, al-itnâb, dan al-musâwâh
al-Îjâz adalah mengucapkan maksud dengan lafal yang lebih singkat dari yang biasa, tetapi sangat jelas maksudnya. Dan kalimat dalam bentuk îjâz ada dua macam, yakni; îjâz qisâr dan îjâz hadzf. Îjâz qisâr adalah îjâz yang menggunakan ungkapan pendek, namun mempunyai makna banyak, tanpa disertai pembuangan (beberapa kata atau kalimatnya). Contoh dalam sûrah al-A‘râf/ 7: 54;
{ أَلاَ لَهُ الْخَلْقُ وَ اْلأَمْرُ }
“Ingatlah yang menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allâh”.(QS. 7:54)
Dalam ayat ini, Allâh mengungkap dua kata, yakni “menciptakan” dan “memerintah”. Kedua kata tersebut singkat tapi padat (mencakup banyak makna), yaitu mencakup segala sesuatu dan segala urusan.
Sedangkan îjâz hadzf adalah îjâz dengan cara membuang sebagian kata atau kalimat disertai indikator yang menunjukkan adanya lafal yang dibuang tersebut. Contoh yang dibuang sebagian katanya dalam sûrah Hûd/ 11: 120;
{وَجَآءَكَ فِي هذِهِ الْحَقُّ }
“dan dalam ini telah datang kepadamu kebenaran”. (QS. 11: 120)
Pada ayat ini terdapat pembuangan sebagian kata dari keseluruhan ungkapan Allâh tersebut, sebab diperkirakan asal kalimatnya adalah :
{ وَجَآءَكَ فِي هذِهِ (السورة) الْحَقُّ }
Dalam ayat ini ada kata yang dibuang yaitu ( السورة ) yang berarti sûrah.
al-Itnâb adalah ungkapan yang menggunakan lafal tambahan dari makna aslinya yang dimaksud karena ada tujuan tertentu. Contoh dalam sûrah Nûh/ 71: 28;
{ رَبِّ اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِمَنْ دَخَلَ بَيْتِيَ مُؤْمِنًا وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ}
“Ya Tuhanku, ampunilah aku, ibu-bapakku, orang-orang yang masuk kerumahku dalam keadaan beriman, dan semua orang mukmin laki-laki dan perempuan”. (QS. 71: 28)
Ayat ini menggunakan perkataan yang lebih dari makna aslinya yang dimaksud. Perkataan tersebut yaitu kalimat “ لوالديّ “ yang merupakan itnâb, karena maknanya sudah tercakup pada keumuman kalimat “ للمؤمنين والمؤمنات “.
Menyampaikan ungkapan kepada komunikan melalui gaya bahasa itnâb bisa dilakukan dengan berbagai teknik, antara lain; 1) menyebutkan lafal yang khusus setelah lafal yang umum, 2) menyebutkan lafal yang umum setelah lafal yang khusus, 3) menyebutkan lafal yang jelas maknanya setelah lafal yang tidak jelas maknanya, 4) mengulangi penyebutan suatu lafal (al-tikrâr), 5). menyisipkan anak kalimat ke tengah-tengah induk kalimat atau antara dua kata yang berkaitan, dan anak kalimat tersebut tidak memiliki jabatan kata (kedudukan dalam i‘râb).
al-Musâwah adalah ungkapan yang makna-maknanya seukuran dengan lafal-lafalnya dan sebaliknya tidak lebih dan tidak kurang, seperti dalam sûrah al-Baqarah/ 2: 110;
{ وَمَا تُقَدِّمُوْا ِلأَنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوْهُ عِنْدَ اللهِ }
“Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu tentu kamu akan mendapatkan pahalanya di sisi Allâh”. (QS. 2: 110)
Ayat ini susunan katanya sesuai dengan makna yang dikehendaki, bila ditambah satu kata saja maka akan tampak kelebihan dan menimbulkan kerancuan. Begitu juga, bila dikurangi satu kata saja maka akan mengurangi maknanya dan menimbulkan kerancuan pula. Kalimat semacam ini disebut dengan al-musâwah.