Ibnu khaldun pernah membahas tentang
filsafat sejarah dan soal-soal prinsip mengenai jatuh bangunnya negara dan
bangsa-bangsa. Jatuh bangunnya sebuah negara ditentukan oleh sikap manusia yang
ada di dalamnya, itulah faktor akhlak. Negara yang bertahan ialah negara
yang ‘baik’ didalam segala urusan kenegaraannya. Sebuah negara yang disukai
rakyatnya sudah pasti akan dipertahankan dari keambrukan lantaran putaran
perjalanan sejarah bangsa manusia. Peradaban maju karena faktor akhlak dan
runtuh karena rusaknya akhlak. Begitupun dalam
ranah dunia pendidikan. Kemajuan pendidikan di institusi manapun tergantung
peran budi pekerti, moral perilaku, dan akhlak.
Ada banyak
pepatah di beberapa negara yang berhubungan tentang kesungguhan, seperti Siapa
Menanam Dia Akan Menuai (pepatah Melayu),
You Reap What You Saw (pepatah Inggris), atau Man
Jadda Wa Jadda (pepatah Arab).
Setiap orang akan mendapatkan apa yang diusahakan dengan sepenuh kesungguhan.
Suatu waktu kita mendapatkan hasil yang tidak kita inginkan, bisa jadi salah
satu penyebabnya adalah kurangnya kesungguhan dalam meraihnya. Bekerja keras adalah sebuah akhlak, sementara
malas-malasan adalah dosa yang disingkirkan dengan memotivasi diri serta doa
harian. Untuk memotivasi bisa dilakukan dengan memasang target harian, target
bulanan, semesteran, tahunan dan juga membiasakan diri berada dalam sistem dan
lingkungan yang kondusif dan kompetitif. Siapa yang bersungguh-sungguh
dia yang mendapat, dan siapa yang menanam dia akan menuai.
Itulah sunnatullah (hukum Allah yang
berlaku di alam, atau biasa disingkat hukum alam).
Lalu,
bagaimana peran pendidikan akhlak sekarang ini bila dikaitkan dengan pendidikan
secara umum saat ini? Dimana telah kita temukan banyak problem/masalah yang
menyangkut moral dan akhlak peserta didik maupun pendidik pada dunia pendidikan
dewasa ini. Adanya kecurangan-kecurangan ketika ujian yang dilakukan siswa
dengan menyontek, adanya perkelahian (tawuran) antar pelajar yang berdampak
merugikan warga sekitar, ataupun potret pendidik yang yang tidak sabar dalam
mendidik sehingga melakukan kekerasan dalam proses belajar mengajar pada
peserta didik, dll.
Di negara yang dikatakan
orang maju, seperti Eropa, Amerika, Australia, dan lainnya sangat
ditekankan ‘dilarang menyontek’ dalam ujian. Siapa yang kedapatan
menyontek, maka ia akan dikeluarkan dari sekolah/kampus. Hasilnya adalah
adanya budaya jujur yang terbentuk selama mereka mengalami proses
pendidikan, dan menjadi lulusan yang memiliki rasa percaya diri.
Menyangkut
budaya menyontek yang parah di sekolah (hingga juga mahasiswa), akan berakibat memunculkan perilaku atau
watak tidak percaya diri, tidak disiplin, tidak bertanggung jawab, tidak
mau membaca buku pelajaran tapi rajin membuat catatan kecil-kecil
untuk bahan menyontek, menghalalkan segala macam cara, dan akhirnya
menjadi koruptor.
Pengaruh dari pelaksanaan
ujian bersih dari menyontek seperti ini ialah siswa akan belajar giat,
guru akan mengajar lebih serius, anak-anak akan rajin membaca, kegiatan
siswa akan fokus pada pelajaran, bukan pacaran, tawuran, mencuri, kenakalan
remaja, bermain-main, tapi siswa mulai disiplin dan bertanggung jawab, dan
orang tua tidak lagi mencampuri urusan pendidikan. Perilaku
jujur akan menjadi budaya nasional kita khususnya budaya jujur dalam
dunia pendidikan, dimana ada proses ujian yang mendidik lulusan
menjadi orang jujur, tidak korup, memiliki budaya malu, disiplin,
bertanggung jawab, percaya diri, dan rajin membaca. Maka kurikulum dengan
akhlak kejujuran dalam pendidikan ada baiknya ditekankan sekali.