SELAMAT DATANG DIBLOG AHMAD BASUKI

Blog Archive

ILM AL-BADΑ‎

al-Hâsyimiy mendefinisikan ‘ilm al-badî‘ sebagai ilmu untuk mengetahui model-model ‎dan kelebihan-kelebihan yang dapat menghiasi dan memperindah kalâm, setelah kalâm ‎itu sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi.‎
    Yang pertama kali mengggunakan istilah al-badî‘ dalam kajian balâghah adalah ‎Ibn al-Mu‘tâz, kemudian dilanjutkan dan ditambah oleh Qudâmah Ibn Ja‘far al-Kâtib, ‎setelah itu bermunculanlah para penulis seperti Abû Hilâl al-‘Askariy, Ibn Rasyîq al-‎Qairawâniy, Safiy al-Dîn al-Himaliy, Ibn Hijjah al-Hamawiy, dan sebagainya. ‎Pembahasan ‘ilm al-badî‘ dibagi dua bagian, yaitu: (1) al-muhassinât al-badî‘iyyah al-‎lafziyyah dan (2) al-muhassinât al-badî‘iyyah al-ma‘nawiyyah.‎

‎1) al-Muhassinât al-Badî‘iyyah al-Lafziyyah. ‎
    Pembahasan al-muhassinât al-badî‘iyyah al-lafziyyah sebagai berikut:‎
‎1) al- Jinâs (paranomasia)‎
    Jinâs adalah kesesuaian huruf dan bunyi dari dua kata, atau kata-kata tersebut ‎berakar dari kata yang sama (derivasi), tetapi kata tersebut memiliki makna berbeda. ‎Misalnya dalam sûrah al-Rûm/ 30: 55;‎
‏{ وَيَوْمَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ يُقْسِمُ الْمُجْرِمُوْنَ مَا لَبِثُوْا غَيْرَ سَاعَةٍ }  ‏
Dalam ayat di atas terdapat dua kata yang sama, baik sisi hurufnya maupun ‎bunyinya, yaitu kata ( ‎الساعة‎ ) dan kata ( ‎ساعة‎ ), yang pertama bermakna hari kiamat, ‎sedangkan kedua bermakna waktu atau zaman. Yang semacam ini disebut dengan al-‎jinâs al-tâm (jinâs sempurna), sedang pembagian lain disebut dengan al-jinâs ghair al-‎tâm (jinâs tidak sempurna), contoh dalam sûrah al-Ahqâf/ 46: 26;‎
‏{ وَلَقَدْ مَكَّنّهُمْ فِيْمَا إِنْ مَّكَّنّكُمْ فِيْهِ }‏‎ ‎
‎“ Dan sesungguhnya Kami telah meneguhkan kedudukan mereka dalam hal-hal ‎yang Kami belum pernah meneguhkan kedudukanmu dalam hal itu”. ‎
‎(QS. 46: 26)‎
    Pada kata ( ‎مكّنّهم‎ ) dan ( ‎مكّنّكم‎ ) ada huruf yang berbeda yakni “ al-hâ′” dan “al-‎kâf”, letak makhrajnya berjauhan, tetapi huruf-huruf yang lain serupa harakat,  jumlah, ‎dan susunannya. Yang semacam ini disebut dengan al-jinâs ghair al-tâm.‎

‎2) al-Saj‘ (sajak)‎
    al-Saj‘ secara etimologis berarti “al-kalâm al-muqaffâ” atau perkataan yang ‎memiliki qâfiyah (irama). Sedangkan secara etimologis, al-saj‘ adalah keserasian dua ‎kata terakhir mengenai huruf akhirnya, yang paling baik adalah yang sama paragrafnya. ‎al-saj‘ terbagi menjadi saj‘ qasîr dan saj‘ tawîl, ada juga pembagian lain berupa; al-‎mutarraf, al-murassa‘, dan al-mutawâziy. Contoh dalam sûrah al-Ghâsyiyah/ 88: 13-14;‎
‏{ فِيْهَا سُرُرٌ مَّرْفُوْعَةٌ (13) وَأَكْوَابٌ مَّوْضُوْعَةٌ (14) }‏
Susunan kalimat pada dua ayat di atas termasuk dalam kategori al-saj‘ al- ‎mutawâziy, karena dua kata akhirnya “marfû‘ah” dan “maudû‘ah” sama-sama sesuai ‎dalam qâfiyah dan waznnya. ‎

‎2) al-Muhassinât al-Badî‘iyyah al-Ma‘nawiyyah.‎
    Pembahasan al-muhassinât al-badî‘iyyah al-ma‘nawiyyah sebagai berikut:‎
‎1) al-Tauriyah (menampakkan makna lain)‎
    al-Tauriyah secara etimologis berarti “menyembunyikan sesuatu dan ‎menampakkan yang lain”.‎ ‎ Secara terminologis al-tauriyah adalah si pembicara ‎menyampaikan satu kata dalam bentuk tunggal, tetapi ia memiliki dua makna (ambigu), ‎yaitu makna dekat (denotatif) dan makna jauh (konotatif), tetapi yang dikendaki adalah ‎mekna konotatifnya. Contohnya dalam sûrah Tâhâ/ 20: 5;‎
‏{ الرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى }‏
Kata yang menunjukkan al-tauriyah di sini adalah “istawâ” memiliki dua makna; ‎‎1) bersemayam, sebagaimana makna dekat atau denotatif, 2) menguasai dan memiliki, ‎sebagai makna jauh atau konotatif. Pemahaman seperti ini tidak cukup dengan membaca ‎terjemahannya saja, tetapi penguasaan terhadap sebab-sebab turunnya ayat, keterkaitan ‎antara maksud kalimat yang satu dengan lainnya, dan ketajaman sensitifitas bahasa ‎‎(dzauq) sangat menentukan. Dan al-tauriyah terbagi menjadi empat, yakni; mujarradah, ‎murasysyahah, mubayyanah, dan muhayya′ah.‎

‎2) al-Tibâq (antitesis).‎
    Secara etimologis, al-tibâq berarti “kecocokkan”. Menurut terminologis, al-tibâq ‎adalah mengumpulkan atau meyandingkan satu kata dan kata lawannya dalam makna, ‎dan dua kata yang berlawanan makna tersebut berupa ism, fi‘l, atau harf.‎ ‎ Dan jika ‎seandainya kata yang berlawanan makna itu lebih dari satu kata, maka disebut dengan ‎al-muqâbalah. Contoh dalam sûrah al-Taghâbun/ 64: 2;‎
‏{ هُوَ الَّذِى خَلَقَكُمْ فَمِنْكُمْ كَافِرٌ وَمِنْكُمْ مُؤْمِنٌ }‏
‎“Dia-lah yang menciptakan kamu maka di antara kamu ada yang kafir dan di ‎antaramu ada yang mu’min”. (QS. 64: 2)‎

Kata “kâfir” disejajarkan dengan kata “mu′min” adalah bentuk gaya bahasa al-‎tibâq. Dan al-tibâq  terbagi menjadi tibâq al-îjâb dan tibâq al-salab.‎

‎3) al-Iltifât
    al-Iltifât adalah ungkapan yang digunakan dari pendengar (mukhâtab) kepada ‎orang ketiga (ghâ′ib), atau dari orang ketiga (ghâ′ib) kepada pendengar (mukhâtab), ‎dan yang sejenisnya.‎ ‎ Ibn al-Atsîr membaginya ke dalam tiga macam, yaitu; 1) dari ‎ghâib kepada mukhâtab dan sebaliknya, 2) dari fi‘l mustaqbal  kepada fi‘l al-amr dan ‎dari fi‘l mâdiy kepada fi‘l al-amr, 3) dari fi‘l mâdiy kepada fi‘l mustaqbal dan sebaliknya. ‎

‎4) al-Jam‘‎
    al-Jam‘ adalah menghimpun sesuatu yang bermacam-macam pada satu hukum, ‎atau si pembicara menghimpun dua macam atau lebih dalam satu hukum. Contoh dalam ‎sûrah al-Kahf/ 18: 46;‎
‏{ الْمَالُ وَالْبَنُوْنُ زِيْنَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا }‏
‎“Harta dan anak adalah perhiasan dunia”. (QS. 18: 46)‎
Kata “al-mâl” atau harta dan kata “al-banûn” atau anak dikumpulkan pada ayat ‎tersebut dalam satu hukum yaitu “perhiasan dunia”.‎

‎5) al-Musyâkalah.‎
    al- Musyâkalah adalah ungkapan dengan menyebut kata sesuatu kemudian ‎menyebut kata lainnya sebagai kata yang menemaninya. Kata yang menemaninya ‎disebut baik secara jelas maupun dipahami melalui konteks pembicaraan. Contoh dalam ‎sûrah al-Mâ′idah/ 5: 116;‎
‏{ تَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِي وَلاَ أَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِكَ }‏
‎“Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa ‎yang ada pad diri Engkau”. (QS. 5: 116)‎

Kata “al-nafs” pada ( ‎نفسك‎ ) adalah dzât Allâh sebagai kata yang menemani kata ‎‎“al-nafs” pada ( ‎نفسي‎ ) yakni diri ‘Îsâ as.‎

‎6) al-Madzhab al-Kalâmiy.‎
    Ibn al-Mu‘taz menjadikan gaya bahasa al-madzhab al-kalâmiy sebagai seni al-‎badî‘ dan dimasukkan ke dalam pembahasan kelima dalam bukunya.‎ ‎ Para ahli ‎balâghah mendefinisikan al-madzhab al-kalâmiy sebagai suatu ungkapan untuk ‎menetapkan (hukum) agama dengan menggunakan dalil akal, atau suatu ungkapan yang ‎digunakan pembicara sebagai alasan atas makna yang dituju dengan mempergunakan ‎dalil akal yang dapat mematahkan penentang ungkapan tersebut. Contoh dalam sûrah ‎al-Anbiyâ/ 21: 22;‎
‏{ لَوْ كَانَ فِيْهِمَا ءَآلِهَةٌ إِلاَّ اللهَ لَفَسَدَتَا } ‏
‎“Sekiranya ada dilangit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allâh, tentulah keduanya ‎‎(langit dan bumi) telah rusak”. (QS. 21: 22)‎
Kata “rusak binasa” tidak terjadi atau batal, karena kata “tuhan-tuhan” selain ‎Allâh adalah batal.‎
‎ ‎
‎7) al-Laff wa al-Nasyr
    Lâsyîn mengatakan al-laff wa al-nasyr sebagai ungkapan yang menyebutkan ‎sesuatu yang beraneka ragam baik secara terinci maupun global, kemudian ‎menyebutkan kembali satu persatu tanpa harus ditentukan.‎
    Gaya bahasa al-laff w al-nasyr ada dua macam, yakni; al-laff wa al-nasyr al-‎murattab dan al-laff wa al-nasyr al-musyawwasy. Sebagai contoh pertama dalam sûrah ‎al-qasas/ 28: 73; ‎
‏{ وَمِنْ رَّحْمَتِهِ جَعَلَ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ لِتَسْكُنُوْا فِيْهِ وَلِتَبْتَغُوْا مِنْ فَضْلِهِ }‏
‎“Dan karena rahmat-Nya, Dia jadikan untukmu malam dan siang, supaya kamu ‎beristirahat pada malam itu dan supaya kamu mencari sebahagian dari karunia-‎Nya (pada siang hari) dan agar kamu bersyukur kepada-Nya”.‎

Dalam ayat ini dihimpun kata “malam dan siang” kemudian disebutkan apa yang ‎menjadi ciri-ciri dari kedua kata tersebut. Pertama, yang menjadi ciri-ciri kata “malam” ‎adalah beristirahat atau berdiam diri. Kedua, yang menjadi ciri-ciri “siang” yaitu ‎mencari sebahagian dari karunia-Nya atau bekerja mencari rezeki yang merupakan ‎karunia Allâh swt.‎