al-Hâsyimiy mendefinisikan ‘ilm al-badî‘ sebagai ilmu untuk mengetahui model-model dan kelebihan-kelebihan yang dapat menghiasi dan memperindah kalâm, setelah kalâm itu sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi.
Yang pertama kali mengggunakan istilah al-badî‘ dalam kajian balâghah adalah Ibn al-Mu‘tâz, kemudian dilanjutkan dan ditambah oleh Qudâmah Ibn Ja‘far al-Kâtib, setelah itu bermunculanlah para penulis seperti Abû Hilâl al-‘Askariy, Ibn Rasyîq al-Qairawâniy, Safiy al-Dîn al-Himaliy, Ibn Hijjah al-Hamawiy, dan sebagainya. Pembahasan ‘ilm al-badî‘ dibagi dua bagian, yaitu: (1) al-muhassinât al-badî‘iyyah al-lafziyyah dan (2) al-muhassinât al-badî‘iyyah al-ma‘nawiyyah.
1) al-Muhassinât al-Badî‘iyyah al-Lafziyyah.
Pembahasan al-muhassinât al-badî‘iyyah al-lafziyyah sebagai berikut:
1) al- Jinâs (paranomasia)
Jinâs adalah kesesuaian huruf dan bunyi dari dua kata, atau kata-kata tersebut berakar dari kata yang sama (derivasi), tetapi kata tersebut memiliki makna berbeda. Misalnya dalam sûrah al-Rûm/ 30: 55;
{ وَيَوْمَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ يُقْسِمُ الْمُجْرِمُوْنَ مَا لَبِثُوْا غَيْرَ سَاعَةٍ }
Dalam ayat di atas terdapat dua kata yang sama, baik sisi hurufnya maupun bunyinya, yaitu kata ( الساعة ) dan kata ( ساعة ), yang pertama bermakna hari kiamat, sedangkan kedua bermakna waktu atau zaman. Yang semacam ini disebut dengan al-jinâs al-tâm (jinâs sempurna), sedang pembagian lain disebut dengan al-jinâs ghair al-tâm (jinâs tidak sempurna), contoh dalam sûrah al-Ahqâf/ 46: 26;
{ وَلَقَدْ مَكَّنّهُمْ فِيْمَا إِنْ مَّكَّنّكُمْ فِيْهِ }
“ Dan sesungguhnya Kami telah meneguhkan kedudukan mereka dalam hal-hal yang Kami belum pernah meneguhkan kedudukanmu dalam hal itu”.
(QS. 46: 26)
Pada kata ( مكّنّهم ) dan ( مكّنّكم ) ada huruf yang berbeda yakni “ al-hâ′” dan “al-kâf”, letak makhrajnya berjauhan, tetapi huruf-huruf yang lain serupa harakat, jumlah, dan susunannya. Yang semacam ini disebut dengan al-jinâs ghair al-tâm.
2) al-Saj‘ (sajak)
al-Saj‘ secara etimologis berarti “al-kalâm al-muqaffâ” atau perkataan yang memiliki qâfiyah (irama). Sedangkan secara etimologis, al-saj‘ adalah keserasian dua kata terakhir mengenai huruf akhirnya, yang paling baik adalah yang sama paragrafnya. al-saj‘ terbagi menjadi saj‘ qasîr dan saj‘ tawîl, ada juga pembagian lain berupa; al-mutarraf, al-murassa‘, dan al-mutawâziy. Contoh dalam sûrah al-Ghâsyiyah/ 88: 13-14;
{ فِيْهَا سُرُرٌ مَّرْفُوْعَةٌ (13) وَأَكْوَابٌ مَّوْضُوْعَةٌ (14) }
Susunan kalimat pada dua ayat di atas termasuk dalam kategori al-saj‘ al- mutawâziy, karena dua kata akhirnya “marfû‘ah” dan “maudû‘ah” sama-sama sesuai dalam qâfiyah dan waznnya.
2) al-Muhassinât al-Badî‘iyyah al-Ma‘nawiyyah.
Pembahasan al-muhassinât al-badî‘iyyah al-ma‘nawiyyah sebagai berikut:
1) al-Tauriyah (menampakkan makna lain)
al-Tauriyah secara etimologis berarti “menyembunyikan sesuatu dan menampakkan yang lain”. Secara terminologis al-tauriyah adalah si pembicara menyampaikan satu kata dalam bentuk tunggal, tetapi ia memiliki dua makna (ambigu), yaitu makna dekat (denotatif) dan makna jauh (konotatif), tetapi yang dikendaki adalah mekna konotatifnya. Contohnya dalam sûrah Tâhâ/ 20: 5;
{ الرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى }
Kata yang menunjukkan al-tauriyah di sini adalah “istawâ” memiliki dua makna; 1) bersemayam, sebagaimana makna dekat atau denotatif, 2) menguasai dan memiliki, sebagai makna jauh atau konotatif. Pemahaman seperti ini tidak cukup dengan membaca terjemahannya saja, tetapi penguasaan terhadap sebab-sebab turunnya ayat, keterkaitan antara maksud kalimat yang satu dengan lainnya, dan ketajaman sensitifitas bahasa (dzauq) sangat menentukan. Dan al-tauriyah terbagi menjadi empat, yakni; mujarradah, murasysyahah, mubayyanah, dan muhayya′ah.
2) al-Tibâq (antitesis).
Secara etimologis, al-tibâq berarti “kecocokkan”. Menurut terminologis, al-tibâq adalah mengumpulkan atau meyandingkan satu kata dan kata lawannya dalam makna, dan dua kata yang berlawanan makna tersebut berupa ism, fi‘l, atau harf. Dan jika seandainya kata yang berlawanan makna itu lebih dari satu kata, maka disebut dengan al-muqâbalah. Contoh dalam sûrah al-Taghâbun/ 64: 2;
{ هُوَ الَّذِى خَلَقَكُمْ فَمِنْكُمْ كَافِرٌ وَمِنْكُمْ مُؤْمِنٌ }
“Dia-lah yang menciptakan kamu maka di antara kamu ada yang kafir dan di antaramu ada yang mu’min”. (QS. 64: 2)
Kata “kâfir” disejajarkan dengan kata “mu′min” adalah bentuk gaya bahasa al-tibâq. Dan al-tibâq terbagi menjadi tibâq al-îjâb dan tibâq al-salab.
3) al-Iltifât
al-Iltifât adalah ungkapan yang digunakan dari pendengar (mukhâtab) kepada orang ketiga (ghâ′ib), atau dari orang ketiga (ghâ′ib) kepada pendengar (mukhâtab), dan yang sejenisnya. Ibn al-Atsîr membaginya ke dalam tiga macam, yaitu; 1) dari ghâib kepada mukhâtab dan sebaliknya, 2) dari fi‘l mustaqbal kepada fi‘l al-amr dan dari fi‘l mâdiy kepada fi‘l al-amr, 3) dari fi‘l mâdiy kepada fi‘l mustaqbal dan sebaliknya.
4) al-Jam‘
al-Jam‘ adalah menghimpun sesuatu yang bermacam-macam pada satu hukum, atau si pembicara menghimpun dua macam atau lebih dalam satu hukum. Contoh dalam sûrah al-Kahf/ 18: 46;
{ الْمَالُ وَالْبَنُوْنُ زِيْنَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا }
“Harta dan anak adalah perhiasan dunia”. (QS. 18: 46)
Kata “al-mâl” atau harta dan kata “al-banûn” atau anak dikumpulkan pada ayat tersebut dalam satu hukum yaitu “perhiasan dunia”.
5) al-Musyâkalah.
al- Musyâkalah adalah ungkapan dengan menyebut kata sesuatu kemudian menyebut kata lainnya sebagai kata yang menemaninya. Kata yang menemaninya disebut baik secara jelas maupun dipahami melalui konteks pembicaraan. Contoh dalam sûrah al-Mâ′idah/ 5: 116;
{ تَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِي وَلاَ أَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِكَ }
“Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pad diri Engkau”. (QS. 5: 116)
Kata “al-nafs” pada ( نفسك ) adalah dzât Allâh sebagai kata yang menemani kata “al-nafs” pada ( نفسي ) yakni diri ‘Îsâ as.
6) al-Madzhab al-Kalâmiy.
Ibn al-Mu‘taz menjadikan gaya bahasa al-madzhab al-kalâmiy sebagai seni al-badî‘ dan dimasukkan ke dalam pembahasan kelima dalam bukunya. Para ahli balâghah mendefinisikan al-madzhab al-kalâmiy sebagai suatu ungkapan untuk menetapkan (hukum) agama dengan menggunakan dalil akal, atau suatu ungkapan yang digunakan pembicara sebagai alasan atas makna yang dituju dengan mempergunakan dalil akal yang dapat mematahkan penentang ungkapan tersebut. Contoh dalam sûrah al-Anbiyâ/ 21: 22;
{ لَوْ كَانَ فِيْهِمَا ءَآلِهَةٌ إِلاَّ اللهَ لَفَسَدَتَا }
“Sekiranya ada dilangit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allâh, tentulah keduanya (langit dan bumi) telah rusak”. (QS. 21: 22)
Kata “rusak binasa” tidak terjadi atau batal, karena kata “tuhan-tuhan” selain Allâh adalah batal.
7) al-Laff wa al-Nasyr
Lâsyîn mengatakan al-laff wa al-nasyr sebagai ungkapan yang menyebutkan sesuatu yang beraneka ragam baik secara terinci maupun global, kemudian menyebutkan kembali satu persatu tanpa harus ditentukan.
Gaya bahasa al-laff w al-nasyr ada dua macam, yakni; al-laff wa al-nasyr al-murattab dan al-laff wa al-nasyr al-musyawwasy. Sebagai contoh pertama dalam sûrah al-qasas/ 28: 73;
{ وَمِنْ رَّحْمَتِهِ جَعَلَ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ لِتَسْكُنُوْا فِيْهِ وَلِتَبْتَغُوْا مِنْ فَضْلِهِ }
“Dan karena rahmat-Nya, Dia jadikan untukmu malam dan siang, supaya kamu beristirahat pada malam itu dan supaya kamu mencari sebahagian dari karunia-Nya (pada siang hari) dan agar kamu bersyukur kepada-Nya”.
Dalam ayat ini dihimpun kata “malam dan siang” kemudian disebutkan apa yang menjadi ciri-ciri dari kedua kata tersebut. Pertama, yang menjadi ciri-ciri kata “malam” adalah beristirahat atau berdiam diri. Kedua, yang menjadi ciri-ciri “siang” yaitu mencari sebahagian dari karunia-Nya atau bekerja mencari rezeki yang merupakan karunia Allâh swt.