SELAMAT DATANG DIBLOG AHMAD BASUKI

Blog Archive

PENDIDIKAN ISLAM DAN KEBERAGAMAN


Manusia pendidik menurut penulis dapat dirumuskan sebagai manusia yang dengan suka rela mau dan mampu mengemban tanggung jawab untuk melakukan satu hal penting yaitu mengetahui hakikat dirinya sendiri (potensi, bakat) kemudian mengaktualisasikan potensi tersebut dalam bentuk pembelajaran. Berkaitan dengan teks agama, selama ini belum banyak pendidik yag sukses mengantarkan peserta didiknya.

Dalam dunia pendidikan, saat ini tentunya masih bertumpukan golongan-golongan yang professional, berdedikasi tinggi, cerdas, pintar, produktif, dan unggul dalam bidang kognitif lainnya. Sementara itu perlu diketahui bahwa panorama Sains menjadi variable yang diunggul-unggulkan oleh para pendidik. Pada kondisi yang demikian, setidaknya melahirkan sebuah mainstream di  masyarakat bahwa keunggulan Sains yang dimiliki oleh para pendidik merupakan prototipy yang harus dikejar, diprioritaskan tanpa memalingkan muka sedikitpun untuk mecoba mempelajari  kembali disiplin ilmu yang berbau religius. Sehingga tanpa di sadari tentang kekokohan aqidah, kesuri tauladanan, kedalaman spiritual, dan keunggulam aqidah serta sosok pendidik ideal hanya menjadi wacana dan eksistensinya kini sekedar menjadi sejarah pada puluhan tahun-tahun silam.
Implikasi dari kerancuan sistem di atas salah satunya mengakibatkan krisis moral, di mana  masih terdengar akrab ditelinga kita yaitu berbagai isu-isu tindak kekerasan, tindakan brutal, perkelahian antar pelajar, bahkan antar mahasiswa, aksi demonstrasi yang melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) yang besifat anarchisme, premanisme di berbagai lembaga pendidikan, dan tindak kriminalitas yang semakin hari semakin menggurita. Tidak hanya itu, akhir-akhir ini kita juga dihadapkan oleh berbagai aksi pencurian sepeda motor, hand phone, bahkan sampai buku pinjaman perpustakan ikut di gondol. Tidak jarang ternyata sebagian pelakunya tak lain dilakukan oleh golongan (pendidikan) kita sendiri, dan ini bukan hanya di lembaga pendidikan umum, melainkan juga merambah pada lembaga pendidikan agama. Lebih parahnya lagi, kondisi yang sudah sedemikian memprihatinkan semakin diperkeruh lagi dengan maraknya konsumsi minuman keras dan narkoba. Sebenarnya mau diarahkan kemana sistem pendidikan kita?
Belum ada solusi konglrit untuk mengatsi hal di atas, lagi-lagi kita dikejutkan dengan merebaknya isu White Colar Crimes. Isu semacam ini dan sejenisnya pernah diangkat oleh Muhaimin (2003) beberapa tahun lalu yang sampai sekarang ini masih hangat untuk dibicarakan. White Colar Crimes (kejahatan kerah putih) atau kejahatan yang dilakukan misalnya oleh para guru, eksekutif, birokrat, politisi, atau yang setingkat dengan mereka. Ini merupakan indikasi penting rapuhnya sistem pendidikan yang selama ini kita adopsi.
Apalagi fenomena tersebut dilengkapi dengan berbagai macam tindak KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) yang sudah mukhollathoh (bercampur) dengan sistem pendidikan yang sudah  dikonstruksi. Siapa yang salah, dan faktor apa saja yang memunculkan fenomena ini? Yang jelas, sebagai calon pendidik kita tidak harus menguak-nguak siapa kambing hitamnya. Asal kita menyadari, di tengah-tengah  carut marutnya sistem pendidikan yang ditandai beberapa faktor di atas, kita membutuhkan  jasa pendidikan agama (islam) yang mampu mengcover kelemahan-kelemahan tersebut.

Normativitas teks-teks agama
Salah satu aspek penting dalam pembelajaran agama (islam) adalah pendidikan yang ditujukan untuk meningkatkan keyakinan, pemahaman, penghayatan, dan pengalaman ajaran agama dari peserta didik. Hal ini dimaksudkan di samping untuk membentuk kesalehan pribadi, juga sekaligus untuk menciptakan kesalehan sosial (Muhaimin : 2004). Teks agama bukan hanya menghendaki pada ranah kognitif saja, melainkan merambah pada ranah afektif dan psikomotorik. Oleh karena itu, kesalehan pribadi diharapkan mampu menyulut sehingga memancar keluar dalam hubungan sosial masyarakat, baik seagama maupun lain agama.
Teks agama dipandang secara normatif, mampu menciptakan sebuah sistem pendidikan yang  berasaskan Ukhuwah Islamiyah dalam arti yang luas, yaitu Ukhuwah fi al-‘Ubudiyyah, Ukhuwah fi al-Insaniyyah, Ukhuwah fi al-Wathoniyah wa al-Nasab, dan Ukhuwah fi Din al- Islam. hal ini sesuai dengan konteks masyarakat Indonesia yang prularistik. Plural dalam bidang agama, ras, etnis, tradisi dan budaya.
Di satu sisi pendidikan agama dapat berperan sebagai faktor integratif (pemersatu), namun di sisi lain juga dapat menjadi faktor disiIntegratif (pemecah). Melihat kenyataan semacam ini tak dapat dipungkiri lagi bahwa peranan pendidikan sangatlah vital, ia adalah salah satu elemen yang dapat menentukan nilai-nilai toleransi di tengah keberagaman masyarakat.
Untuk dapat merealisaskan teks ukhuwah islamiyah di butuhkan sebuah The Bound of Civility. Sebagaimana apa yang diusulkan oleh Muhaimin (2004), The Bound of Civility (ikatan keadaban) ini dapat memberi pedoman dalam menjalani agama sesuai dengan konteks yang dikehendaki. Pada dasarnya ikatan (civility) semacam ini secara universal juga dikonstruksi melalui nilai-nilai fundamental doctriner agama, di mana Pendidikan Agama Islam mampu membelajarkan agama sebagai panduan moral dalam kehidupan masyarakat.
Bukan hanya itu, ia diharapkan   mampu engangkat dimensi-dimensi konseptual dan substansial (fundamental value) dari ajaran agama itu sendiri, seperti kejujuran, keadilan, kebersamaan, kesadaran akan hak dan kwajiban, ketulusan dalam beramal dan lain sebagainya. Hal ini bila dijalankan sesuai dengan prosedur, demikian pendidikan agama akan berwujud sebagai faktor integratif (pemersatu).
Sebaliknya, jika fundamental doctrin disampaikan secara ekstrim tanpa dibarengi dengan fundamental value, pemahaman, dan penghayatan agamapun masih terkesan simbolik, tekstual, skriptual, kaku, serta mengarah pada fanatisme buta. Demikian, maka akan memunculkan perilaku intoleran yang menjadi bibit disintregasi (perpecahan).
Untuk lebih memperjelas pemaparan ini, ambillah sepenggal contoh atas apa yang dilakukan Imam Samudera dkk yang  membom bardir BALI pada bulan oktober 2002 silam. Bahkan baru-baru ini juga bertebaran aksi bom bunuh diri yang mengancam keamanan masyarakat sipil. Habis sudah peluang pendidikan agama jika dihadapkan persoalan tersebut. Dan sebagai dampaknya dunia islam mengecam Indonesia sebagai sarang teroris. parahnya, bukan hanya itu, mereka juga menjustifikasi pendidikan agama sebagai agama ekstrimis.
Oleh karena itu, pendidikan agama diharuskan melibatkan ranah afektif dan psikomotorik dalam merumuskan konsepnya. Sebagai seorang pendidik, bagaimana caranya agar ajaran agama (islam) di imani, di pahami, dan di hayati oleh peserta didik sehingga mampu menumbuhkan motivasi pada dirinya untuk menggerakkan, mengamalkan, dan menaati ajaran agama dalam kehidupan pribadi dan sosial kemasyarakatan.

Profesionalisme, sebuah batu loncatan
Mengacu pada ketentuan Undang-Undang Guru dan Dosen Pasal 10 Ayat 1, bahwasanya seorang pendidik (guru) diharuskan memiliki 4 kompetensi, yaitu aspek paedagogik, aspek sosial, aspek kepribadian, dan aspek profesionalitas. Oleh karena itu, guru yang profesional akan memiliki dedikasi yang tinggi, komitmen terhadap mutu dan ahli dalam bidangnya. Demikian, setidaknya pendidik mempunyai 2 sikap dalam mengemban tugasnya, yakni continues improvement dan calling profession. Dengan sikap yang pertama, pendidik akan selalu berusaha memperbaiki dan memperbaharui model-model atau cara  kerjanya sesuai dengan tuntutan zamannya. Dan tentunya hal ini disertai  dengan kesadaran tinggi bahwa tugas mendidik adalah tugas menyiapkan generasi penerus setelahnya.
Kemudian, dengan sikap yang kedua, pendidik akan selalu terpanggil dengan pernyataan janji yang di ucapkan di muka umum untuk ikut berkhidmat. Setidaknya guru harus bisa memujudkan nilai-nilai yang diamanatkan oleh Tuhan dan  masyarakat melalui usaha kerja keras dan cerdas (Muhaimin : 2004).
Pada situasi yang  lain, Houle (2001) menyatakan seorang dikatakan profesional bila sudah melalui beberapa tahap, yaitu memiliki landasan pengetahuan yang kuat, berdasar pada kompetensi individu (bukan KKN), sertifikasi, kompetisi antar sejawat, kesadaran profesional tinggi, kode etik pendidik, sistem sanksi profesi, militansi individual, dan organisasi profesi. Demikian, profesionalisme merupakan batu loncatan untuk menjadi seorang pendidik ideal yang diharapkan mampu mengurai dan mengatasi sistem pendidikan kita.
Teks-teks agama yang sarat akan ajaran islam ternyata tidak lepas dari interpretasi yang menyebabkan keragaman pandangan. Bagi kita sangatlah sulit untuk memahami ide-ide Tuhan yang tertuang dalam teks tersebut. Interpretasi terhadap teks yang tidak diiringi oleh pemahaman ilmu dan agama secara komprehensif, maka akan melahirkan sebuah interpretasi yang baku dan kaku, yang pada akhirnya menjadi sebuah ideologi. Dan ideologi semacam inilah yang menimbulkan konflik, serta berindikasi menjadi faktor disintegratif (pemecah).
Oleh karena itu, sosok pendidik profesional yang sesuai dan sejalan dengan paparan di atas sangat dibutuhkan dalam menanamkan dan memahamkan peserta didik, agar supaya aqidah, etika keilmuan, dan agama mereka senantiasa terjaga sehingga mereka tidak lagi akrab (kerap melakukan) hal-hal di luar normativitas agama. Komitmen profesionalisme itulah yang dinanti-nanti oleh sistem pendidikan kita saat ini. Di mana ia mampu menjadi murobbi, mu’allim, mudarris, dan mu’addib.