Manusia pendidik menurut penulis dapat
dirumuskan sebagai manusia yang dengan suka rela mau dan mampu mengemban
tanggung jawab untuk melakukan satu hal penting yaitu mengetahui hakikat
dirinya sendiri (potensi, bakat) kemudian mengaktualisasikan potensi tersebut
dalam bentuk pembelajaran. Berkaitan dengan teks agama, selama ini belum banyak
pendidik yag sukses mengantarkan peserta didiknya.
Dalam dunia pendidikan, saat ini tentunya masih bertumpukan
golongan-golongan yang professional, berdedikasi tinggi, cerdas, pintar,
produktif, dan unggul dalam bidang kognitif lainnya. Sementara itu perlu
diketahui bahwa panorama Sains menjadi variable
yang diunggul-unggulkan oleh para pendidik. Pada kondisi yang demikian,
setidaknya melahirkan sebuah mainstream
di masyarakat bahwa keunggulan Sains
yang dimiliki oleh para pendidik merupakan prototipy
yang harus dikejar, diprioritaskan tanpa memalingkan muka sedikitpun untuk
mecoba mempelajari kembali disiplin ilmu
yang berbau religius. Sehingga tanpa
di sadari tentang kekokohan aqidah, kesuri tauladanan, kedalaman spiritual, dan
keunggulam aqidah serta sosok pendidik ideal hanya menjadi wacana dan
eksistensinya kini sekedar menjadi sejarah pada puluhan tahun-tahun silam.
Implikasi dari kerancuan sistem di atas salah satunya mengakibatkan
krisis moral, di mana masih terdengar
akrab ditelinga kita yaitu berbagai isu-isu tindak kekerasan, tindakan brutal,
perkelahian antar pelajar, bahkan antar mahasiswa, aksi demonstrasi yang
melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) yang besifat anarchisme, premanisme di
berbagai lembaga pendidikan, dan tindak kriminalitas yang semakin hari semakin
menggurita. Tidak hanya itu, akhir-akhir ini kita juga dihadapkan oleh berbagai
aksi pencurian sepeda motor, hand phone, bahkan sampai buku pinjaman
perpustakan ikut di gondol. Tidak jarang ternyata sebagian pelakunya tak
lain dilakukan oleh golongan (pendidikan) kita sendiri, dan ini bukan hanya di
lembaga pendidikan umum, melainkan juga merambah pada lembaga pendidikan agama.
Lebih parahnya lagi, kondisi yang sudah sedemikian memprihatinkan semakin
diperkeruh lagi dengan maraknya konsumsi minuman keras dan narkoba. Sebenarnya
mau diarahkan kemana sistem pendidikan kita?
Belum ada solusi konglrit untuk mengatsi hal di atas, lagi-lagi kita
dikejutkan dengan merebaknya isu White
Colar Crimes. Isu semacam ini dan sejenisnya pernah diangkat oleh Muhaimin
(2003) beberapa tahun lalu yang sampai sekarang ini masih hangat untuk
dibicarakan. White Colar Crimes (kejahatan
kerah putih) atau kejahatan yang dilakukan misalnya oleh para guru, eksekutif,
birokrat, politisi, atau yang setingkat dengan mereka. Ini merupakan indikasi
penting rapuhnya sistem pendidikan yang selama ini kita adopsi.
Apalagi fenomena tersebut dilengkapi dengan berbagai macam tindak
KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) yang sudah mukhollathoh (bercampur) dengan sistem pendidikan yang sudah dikonstruksi. Siapa yang salah, dan faktor
apa saja yang memunculkan fenomena ini? Yang jelas, sebagai calon pendidik kita
tidak harus menguak-nguak siapa kambing hitamnya. Asal kita menyadari, di
tengah-tengah carut marutnya sistem
pendidikan yang ditandai beberapa faktor di atas, kita membutuhkan jasa pendidikan agama (islam) yang mampu
mengcover kelemahan-kelemahan tersebut.
Normativitas teks-teks agama
Salah satu aspek penting dalam pembelajaran agama (islam) adalah
pendidikan yang ditujukan untuk meningkatkan keyakinan, pemahaman, penghayatan,
dan pengalaman ajaran agama dari peserta didik. Hal ini dimaksudkan di samping
untuk membentuk kesalehan pribadi, juga sekaligus untuk menciptakan kesalehan
sosial (Muhaimin : 2004). Teks agama bukan hanya menghendaki pada ranah
kognitif saja, melainkan merambah pada ranah afektif dan psikomotorik. Oleh
karena itu, kesalehan pribadi diharapkan mampu menyulut sehingga memancar
keluar dalam hubungan sosial masyarakat, baik seagama maupun lain agama.
Teks agama dipandang secara normatif, mampu menciptakan sebuah
sistem pendidikan yang berasaskan Ukhuwah Islamiyah dalam arti yang luas,
yaitu Ukhuwah fi al-‘Ubudiyyah, Ukhuwah
fi al-Insaniyyah, Ukhuwah fi al-Wathoniyah wa al-Nasab, dan Ukhuwah fi Din al- Islam.
hal ini sesuai dengan konteks masyarakat Indonesia yang prularistik. Plural
dalam bidang agama, ras, etnis, tradisi dan budaya.
Di satu sisi pendidikan agama dapat berperan sebagai faktor integratif (pemersatu), namun di sisi
lain juga dapat menjadi faktor disiIntegratif
(pemecah). Melihat kenyataan semacam ini tak dapat dipungkiri lagi bahwa
peranan pendidikan sangatlah vital, ia adalah salah satu elemen yang dapat
menentukan nilai-nilai toleransi di tengah keberagaman masyarakat.
Untuk dapat merealisaskan teks ukhuwah
islamiyah di butuhkan sebuah The
Bound of Civility. Sebagaimana apa yang diusulkan oleh Muhaimin (2004), The Bound of Civility (ikatan keadaban)
ini dapat memberi pedoman dalam menjalani agama sesuai dengan konteks yang
dikehendaki. Pada dasarnya ikatan (civility)
semacam ini secara universal juga dikonstruksi melalui nilai-nilai fundamental doctriner agama, di mana
Pendidikan Agama Islam mampu membelajarkan agama sebagai panduan moral dalam
kehidupan masyarakat.
Bukan hanya itu, ia diharapkan
mampu engangkat dimensi-dimensi konseptual dan substansial (fundamental value) dari ajaran agama itu
sendiri, seperti kejujuran, keadilan, kebersamaan, kesadaran akan hak dan kwajiban,
ketulusan dalam beramal dan lain sebagainya. Hal ini bila dijalankan sesuai
dengan prosedur, demikian pendidikan agama akan berwujud sebagai faktor integratif (pemersatu).
Sebaliknya, jika fundamental
doctrin disampaikan secara ekstrim tanpa dibarengi dengan fundamental value, pemahaman, dan
penghayatan agamapun masih terkesan simbolik, tekstual, skriptual, kaku, serta
mengarah pada fanatisme buta. Demikian, maka akan memunculkan perilaku
intoleran yang menjadi bibit disintregasi
(perpecahan).
Untuk lebih memperjelas pemaparan ini, ambillah sepenggal contoh
atas apa yang dilakukan Imam Samudera dkk yang
membom bardir BALI pada bulan oktober 2002 silam. Bahkan baru-baru ini
juga bertebaran aksi bom bunuh diri yang mengancam keamanan masyarakat sipil.
Habis sudah peluang pendidikan agama jika dihadapkan persoalan tersebut. Dan
sebagai dampaknya dunia islam mengecam Indonesia sebagai sarang teroris.
parahnya, bukan hanya itu, mereka juga menjustifikasi pendidikan agama sebagai
agama ekstrimis.
Oleh karena itu, pendidikan agama diharuskan melibatkan ranah
afektif dan psikomotorik dalam merumuskan konsepnya. Sebagai seorang pendidik,
bagaimana caranya agar ajaran agama (islam) di imani, di pahami, dan di hayati
oleh peserta didik sehingga mampu menumbuhkan motivasi pada dirinya untuk
menggerakkan, mengamalkan, dan menaati ajaran agama dalam kehidupan pribadi dan
sosial kemasyarakatan.
Profesionalisme, sebuah batu
loncatan
Mengacu pada ketentuan Undang-Undang Guru dan Dosen Pasal 10 Ayat 1,
bahwasanya seorang pendidik (guru) diharuskan memiliki 4 kompetensi, yaitu
aspek paedagogik, aspek sosial, aspek kepribadian, dan aspek profesionalitas.
Oleh karena itu, guru yang profesional akan memiliki dedikasi yang tinggi,
komitmen terhadap mutu dan ahli dalam bidangnya. Demikian, setidaknya pendidik
mempunyai 2 sikap dalam mengemban tugasnya, yakni continues improvement dan calling
profession. Dengan sikap yang pertama, pendidik akan selalu berusaha
memperbaiki dan memperbaharui model-model atau cara kerjanya sesuai dengan tuntutan zamannya. Dan
tentunya hal ini disertai dengan kesadaran
tinggi bahwa tugas mendidik adalah tugas menyiapkan generasi penerus setelahnya.
Kemudian, dengan sikap yang kedua, pendidik akan selalu terpanggil
dengan pernyataan janji yang di ucapkan di muka umum untuk ikut berkhidmat.
Setidaknya guru harus bisa memujudkan nilai-nilai yang diamanatkan oleh Tuhan
dan masyarakat melalui usaha kerja keras
dan cerdas (Muhaimin : 2004).
Pada situasi yang lain, Houle
(2001) menyatakan seorang dikatakan profesional bila sudah melalui beberapa
tahap, yaitu memiliki landasan pengetahuan yang kuat, berdasar pada kompetensi
individu (bukan KKN), sertifikasi, kompetisi antar sejawat, kesadaran
profesional tinggi, kode etik pendidik, sistem sanksi profesi, militansi
individual, dan organisasi profesi. Demikian, profesionalisme merupakan batu
loncatan untuk menjadi seorang pendidik ideal yang diharapkan mampu mengurai
dan mengatasi sistem pendidikan kita.
Teks-teks agama yang sarat akan ajaran islam ternyata tidak lepas
dari interpretasi yang menyebabkan keragaman pandangan. Bagi kita sangatlah
sulit untuk memahami ide-ide Tuhan yang tertuang dalam teks tersebut.
Interpretasi terhadap teks yang tidak diiringi oleh pemahaman ilmu dan agama
secara komprehensif, maka akan melahirkan sebuah interpretasi yang baku dan
kaku, yang pada akhirnya menjadi sebuah ideologi. Dan ideologi semacam inilah
yang menimbulkan konflik, serta berindikasi menjadi faktor disintegratif (pemecah).
Oleh karena itu, sosok pendidik profesional yang
sesuai dan sejalan dengan paparan di atas sangat dibutuhkan dalam menanamkan
dan memahamkan peserta didik, agar supaya aqidah, etika keilmuan, dan agama
mereka senantiasa terjaga sehingga mereka tidak lagi akrab (kerap melakukan)
hal-hal di luar normativitas agama. Komitmen profesionalisme itulah yang
dinanti-nanti oleh sistem pendidikan kita saat ini. Di mana ia mampu menjadi murobbi, mu’allim, mudarris, dan mu’addib.