Setiap
jiwa pasti memiliki belahan jiwa. Tuhan
tidak akan membiarkan satupun jiwa yang terlepas dari Tangan kasih Nya tanpa
belahan jiwanya. Sebelum mereka diturunkan kedalam dunia fana yang penuh tipu
daya, sepasang jiwa akan dikaitkan sebuah benang pada masing-masing jari kanan
mereka, ya..ikatan benang merah. Kemudian nama mereka akan ditorehkan kedalam
kitab Eros dengan menggunakan tinta yang akan terbaca saat vernal equinox
terjadi..
Eh,
tunggu…!!!! Langkah kakiku terhenti.
Aku
mengedarkan pandangan keseluruh sudut ruang yang ternyata tak berujung. dan
yang kudapati hanya ada satu sosok jiwa malang
tanpa belahan jiwa disisinya. Aku melangkahkan kaki mundur. menjauh dari
kerumunan pasangan jiwa dalam barisan.Terus….dan akan terus menjauh…karena
sesosok jiwa malang
itu ternyata diriku sendiri. Langkah kaki ini terhenti ketika aku berada dalam
sunyinya sungai Peneus yang berkilau bila tertimpa sinar dari sang surya.
Sayup-sayup terdengar melodi indah nan romantic dari kejauhan, semakin kudengar
semakin dekat jualah suara itu..nampak sesosok jiwa mempekenalkan diri sambil
berdendang..
“
Perkenankanlah jiwa ini memperkenalkan
diri..aku Orpheus, anak Apollo dan Calliope cucu dari Zeus”.
“ Adakah
engkau berkenan memperkenalkan diri wahai jiwa yang sendiri?? Mungkinkah jiwamu
merupakan belahan jiwaku??“..
“ Maaf
Orpheus..jiwaku bukan milikmu. Jiwamu telah dituliskan dalam kitab Eros bersama
Eurydice “.
“
Ikutilah panggilan cinta dari jiwamu…jangan pernah lelah jari-jari lentik itu
memetik dawai-dawai sang Lyra..teruslah melangkah di iringi irama syahdu Lyramu
sebagai proyeksi jiwa yang merindu “.
Dan
petikan dawai-dawai Lyra Orpheus pun kini tidak terdengar lagi seiring
kepergianya. Mungkin saat itu ia telah bersama dengan pujaan hatinya, Eurydice.
Namun
tidak berselang lama nampaklah sesosok jiwa menghampiri dengan terengah..
“ Sophie,
belahan jiwaku……!! Ikutlah bersamaku, jiwa ini belumlah lengkap tanpa
kehadiranmu “.
“ Engkau
salah, wahai jiwa pencari..aku bukanlah jiwa yang engkau maksud “.
“ Adakah
engkau lupa ?? jiwa pencari ini bernama Daedalus, belahan jiwa Sophie “.
Sebuah
senyum simetris terbentuk di wajahku,
Dengan
langkah gontai Daedalus menjauh, masih saja berusaha mengepakkan sayab-sayab
patahnya berharap miracle of Love terjadi. Namun …sayab cinta itu hanya
terkembang satu sisi sehingga kemungkinan untuk terbang tidak ada. Helai-helai
bulu dari sayab itu mulai berjatuhan. Akan tetapi Hal itu justru menerbangkan
ide kedalam benakku.
“
Ahaa…”!! kenapa tidak engkau ikuti setiap helai bulu dari sayab kamu yang telah
jatuh?? Mungkin hal itu akan membimbing kamu untuk mendapatkan kembali sayab
cinta dari sophie “.
Aku
beranjak dari tempatku duduk, Berjalan beberapa langkah untuk menikmati
keindahan sungai peneus dari sisi lain. Kutemukan
sesosok jiwa yang tengah khusyuk memandangi sesuatu dalam beningnya sungai
peneus. Aku penasaran di buatnya, lalu kulangkahkan kaki mencoba mendekatinya.
Mencari jarak yang pas untuk mengetahui apa yang sebenarnya ia lakukan. Aku
terpana menyaksikanya. Kejernihan dan kebeningan sungai ini mampu menjadi
cermin yang memantulkan dirinya dengan sangat jelas. Sampai-sampai ia pun tidak
menyadari kehadiranku disisinya.
“ Ehemm…”. Tidak ada respon.
“ wahai jiwa yang tengah terpaku pada pantulan diri
sendiri, adakah aku diperkenankan untuk tahu siapa namamu???”. Masih tidak ada
respon. Kemerduan suaraku tidak mampu membuat ia berpaling sedikitpun dari
pantulan jiwanya. Tidak habis akal, aku
menggerak-gerakkan kedua tanganku membuat suatu gerakan-gerakan aneh demi
mendaptkan perhatianya. Namun agaknya sia-sia saja yang telah aku lakukan,
karena pada kenyataanya ia tetap keukeuh dengan apa yang dilakukanya. Entah
sejak kapan ia begitu.
Tiba-tiba
sekelebat bayangan samar mengalihkan pandanganku sejenak darinya. Bayangan itu
berasal dari balik pohon diseberang sungai. Sepasang sayap peri menyembul dari
balik pohon. namun dalam hitungan detik, jiwa bersayab peri itu telah duduk
tidak jauh denganku. Aku tertegun, lidah ini kelu meski sekedar untuk menyapa. Lalu Ia
mengangguk, kemudian menunjuk pada satu sosok yang masih saja terpaku
memandangi pantulan jiwanya.
“ Ooo…. Jadi sosok jiwa yang tampan itu namanya
Narkhisus ??? “
“ i…i..ya..! put..put..putra Kifisos “. Katanya lagi
masih dengan gagap.
“ Lantas,
siapakah engkau ?? “
“
Ek…Ekho..! “
“ Kenapa
kamu bersembunyi dibalik pohon untuk mengamatinya ?? apakah kamu akan selalu
menunggu agar ia tersadar bahwa kamu telah menantinya selama ini ?? “
“ A..A..Aku..taa..taa..kut “. Jawabnya
tertunduk.
“ Kenapa
harus takut ?? jika kamu yakin itu belahan jiwamu maka raihlah ia..”. jangan
biarkan rasa takut itu menghalangi langkahmu untuk mendapatkanya “. Kataku
menambahkan.
“
Taa..ta..tapi…, a..aku ti..ti..tidaklah pan..pantas un..un..untuk
men..mendapatkanya, a..apa la..lagi deng..dengan ke..ke..keada..anku sa..sa’at
i..i..ni “. Ujarnya pesimis.
“ Kita
tidak harus selalu menunggu bola datang pada kita, adakalanya kita yang harus
menjemput bola itu “.
“
Sekarang aku akan menunjukkan caranya kepadamu untuk menjemput bolamu “. Kataku
meyakinkan.
Tanganku
menggerayang mencari batu esmerald yang tersebar seperti kerikil di tepian
sungai peneus. Kemudian aku memungutnya satu dan menunjukkan batu itu kepada
Ekho, sosok jiwa peri yang gagap. Ia mengerutkan dahinya, tidak mengerti yang
akan aku lakukan dengan batu itu dalam hitungan detik berikutnya. Aku ayunkan
batu dalam genggaman tangan kananku., sebelum ekho menyadari apa yang aku
lakukan maka dengan cepat aku lontarkan batu esmerald itu kedalam beningnya
sungai peneus, tepat mengenai pantulan jiwa Narkhisus.
“
Ti..Ti..daak !” katanya mencegahku. Namun telat, aku sudah terlanjur mengusik
ketenangan sungai itu. Dan aku sudah bisa memprediksi apa yang akan selanjutnya
terjadi.
“
TIDAAAKK……!!!! Jangan pergiii…!!! Jangan tinggalkan aku…..!! “. Teriak
Narkhisus histeris kehilangan pantulan dirinya sendiri.
“ Apa
yang telah kamu lakukan ?!! Apa kamu tahu akibat yang telah kamu perbuat ??!
kamu membiarkan belahan jiwaku hilang dari sisiku ! “ . Nada bicaranya semakin
meninggi.
“ Aku
tahu. Dan aku punya alasan melakukan itu “ . jawabku berusaha setenang mungkin.
Narkhisus
hanya diam. Ia tahu kata-kataku belum selesai sampai disitu saja. melihat hal
itu lantas aku kembali berkata,
“ Belahan jiwa ?? apa kamu sadar dengan apa yang
kamu lakukan selama ini ?? kamu menghabiskan waktu dan tenagamu untuk mencintai
diri kamu sendiri ! bukankah itu hal yang egois?? Kamu terkurung dalam dunia
yang kamu ciptakan sendiri. Kamu bahkan tidak menyadari sedikitpun kehadiran
sosok jiwa yang senantiasa mengamatimu dari jarak jauh supaya kamu tidak
terganggu. Namun ia tetap bahagia meski sekedar melihatmu bahagia dari seberang
sungai “ .
“ kita
adalah sesosok jiwa yang belum sempurna. Maka dari itu kita memerlukan belahan
jiwa yang akan melengkapi jiwa kita. Sedang belahan jiwamu bukanlah sosok yang
selalu kamu amati tiada henti, karena ia sekedar pantulan dari jiwa kamu
sendiri. Jika kamu ingin tahu siapa belahan jiwa kamu, maka jawaban itu ada
padanya “. Kataku menunjuk Ekho, sang peri yang gagap.
Narkhisus
menoleh sekilas kearah Ekho, kemudian berbalik lagi mengamati kebeningan sungai
peneus yang menampakkan pantulan jiwanya kembali. Melihat hal itu Ekho pasrah
jika ia tidak akan pernah bisa mendapatkan belahan jiwanya. Sedang aku khawatir
jika semua yg telah aku ucapkan tidak mampu mengubah mindset tentang
kecintaannya terhadap pantulan dirinya. Namun siapa sangka ia malah melambaikan
tangan kepada pantulan jiwanya dan ia melihat jika pantulan dirinya melambaikan
tangan juga dari sisi sebaliknya.
“ Apa
yang kamu ucapkan benar adanya “. Perkataan Narkhisus memecahkan keheningan.
Lalu aku tahu bahwa apa yang telah aku lakukan berhasil, kini tugasku telah
selesai.
Aku beranjak dari zona nyamanku bersamaan dengan
hembusan nafas lega. Aku bersyukur masih
bisa membantu jiwa-jiwa yang tengah mencari belahanya, meski pada kenyataanya
aku belum bisa mendapatkan belahan jiwaku sendiri. Tiba-tiba rasa penasaran
mengusikku untuk mengetahui siapa yang akan menjadi belahan jiwaku. Rasa penasaran akan belahan jiwa menuntun
langkah kakiku menyusuri jalan setapak yang bermuara pada sebuah tempat dimana
Tuhan bersemayam dengan penjagaan penuh malaikat-malaikat Arsy, Tempat dimana
Tuhan mengendalikan segala persoalan makhluk-Nya di alam semesta. Dan tempat
ini dikelilingi 4 buah sungai, yang pertama adalah sungai yang berisi cahaya
yang kemilauan, yang kedua adalah sungai yang bermuatan salju putih berkilauan,
yang ketiga adalah sungai yang penuh dengan air yang beningnya melebihi telaga
kautsar, dan yang terakhir sungai yang berisi api yang menyala kemerahan.
Disetiap sungai berdiri para malaikat yang tidak putus-putusnya mengumandangkan
pujian kepada sang Pencipta.
Namun, kini keraguan menyergapku melihat
malaikat-malaikat penjaga itu. Tatapannya seolah mengisyaratkan penolakan yang
sangat tegas akan kehadiranku disini. Tetapi anehnya, hal itu tidak mampu
menyurutkan keinginanku untuk bertanya kepada sang pemberi jiwa akan belahan
jiwaku, kenapa hingga detik ini aku dibiarkan lepas tanpa belahanya. Aku
berusaha bernegosiasi dengan para malaikat penjaga, akan tetapi tidak satupun
kata yang terucap digubris mereka. Hanya dengan bermodalkan tekad aku
memaksakan diri sepenuhnya untuk menerobos pertahanan malaikat-malaikat
penjagan itu. Kekuatan penuh telah aku kerahkan, tetapi aku tidak mampu
menggeser seincipun. Aku mencoba dan terus mencoba, hingga aku tiada daya.
Keseimbanganku roboh, aku merasa jiwaku melayang, namun sebelum akhirnya semua
berubah menjadi gelab, dalam keadaan sadar dan tidak aku sempat melihat bahwa
Hijab itu telah terbuka.