SELAMAT DATANG DIBLOG AHMAD BASUKI

Blog Archive

De’ SOULMATE


Setiap jiwa pasti  memiliki belahan jiwa. Tuhan tidak akan membiarkan satupun jiwa yang terlepas dari Tangan kasih Nya tanpa belahan jiwanya. Sebelum mereka diturunkan kedalam dunia fana yang penuh tipu daya, sepasang jiwa akan dikaitkan sebuah benang pada masing-masing jari kanan mereka, ya..ikatan benang merah. Kemudian nama mereka akan ditorehkan kedalam kitab Eros dengan menggunakan tinta yang akan terbaca saat vernal equinox terjadi..
Eh, tunggu…!!!! Langkah kakiku terhenti.
Aku mengedarkan pandangan keseluruh sudut ruang yang ternyata tak berujung. dan yang kudapati hanya ada satu sosok jiwa malang tanpa belahan jiwa disisinya. Aku melangkahkan kaki mundur. menjauh dari kerumunan pasangan jiwa dalam barisan.Terus….dan akan terus menjauh…karena sesosok jiwa malang itu ternyata diriku sendiri. Langkah kaki ini terhenti ketika aku berada dalam sunyinya sungai Peneus yang berkilau bila tertimpa sinar dari sang surya. Sayup-sayup terdengar melodi indah nan romantic dari kejauhan, semakin kudengar semakin dekat jualah suara itu..nampak sesosok jiwa mempekenalkan diri sambil berdendang..
“ Perkenankanlah  jiwa ini memperkenalkan diri..aku Orpheus, anak Apollo dan Calliope cucu dari Zeus”.
“ Adakah engkau berkenan memperkenalkan diri wahai jiwa yang sendiri?? Mungkinkah jiwamu merupakan belahan jiwaku??“..
“ Maaf Orpheus..jiwaku bukan milikmu. Jiwamu telah dituliskan dalam kitab Eros bersama Eurydice “.
“ Ikutilah panggilan cinta dari jiwamu…jangan pernah lelah jari-jari lentik itu memetik dawai-dawai sang Lyra..teruslah melangkah di iringi irama syahdu Lyramu sebagai proyeksi jiwa yang merindu “.
Dan petikan dawai-dawai Lyra Orpheus pun kini tidak terdengar lagi seiring kepergianya. Mungkin saat itu ia telah bersama dengan pujaan hatinya, Eurydice.
Namun tidak berselang lama nampaklah sesosok jiwa menghampiri dengan terengah..
“ Sophie, belahan jiwaku……!! Ikutlah bersamaku, jiwa ini belumlah lengkap tanpa kehadiranmu “.
“ Engkau salah, wahai jiwa pencari..aku bukanlah jiwa yang engkau maksud “.
“ Adakah engkau lupa ?? jiwa pencari ini bernama Daedalus, belahan jiwa Sophie “.
Sebuah senyum simetris terbentuk di wajahku,
Dengan langkah gontai Daedalus menjauh, masih saja berusaha mengepakkan sayab-sayab patahnya berharap miracle of Love terjadi. Namun …sayab cinta itu hanya terkembang satu sisi sehingga kemungkinan untuk terbang tidak ada. Helai-helai bulu dari sayab itu mulai berjatuhan. Akan tetapi Hal itu justru menerbangkan ide kedalam benakku.
“ Ahaa…”!! kenapa tidak engkau ikuti setiap helai bulu dari sayab kamu yang telah jatuh?? Mungkin hal itu akan membimbing kamu untuk mendapatkan kembali sayab cinta dari sophie “.
Aku beranjak dari tempatku duduk, Berjalan beberapa langkah untuk menikmati keindahan sungai peneus dari  sisi lain. Kutemukan sesosok jiwa yang tengah khusyuk memandangi sesuatu dalam beningnya sungai peneus. Aku penasaran di buatnya, lalu kulangkahkan kaki mencoba mendekatinya. Mencari jarak yang pas untuk mengetahui apa yang sebenarnya ia lakukan. Aku terpana menyaksikanya. Kejernihan dan kebeningan sungai ini mampu menjadi cermin yang memantulkan dirinya dengan sangat jelas. Sampai-sampai ia pun tidak menyadari kehadiranku disisinya.
“ Ehemm…”. Tidak ada respon.
“ wahai jiwa yang tengah terpaku pada pantulan diri sendiri, adakah aku diperkenankan untuk tahu siapa namamu???”. Masih tidak ada respon. Kemerduan suaraku tidak mampu membuat ia berpaling sedikitpun dari pantulan jiwanya.  Tidak habis akal, aku menggerak-gerakkan kedua tanganku membuat suatu gerakan-gerakan aneh demi mendaptkan perhatianya. Namun agaknya sia-sia saja yang telah aku lakukan, karena pada kenyataanya ia tetap keukeuh dengan apa yang dilakukanya. Entah sejak kapan ia begitu.
Tiba-tiba sekelebat bayangan samar mengalihkan pandanganku sejenak darinya. Bayangan itu berasal dari balik pohon diseberang sungai. Sepasang sayap peri menyembul dari balik pohon. namun dalam hitungan detik, jiwa bersayab peri itu telah duduk tidak jauh denganku. Aku tertegun, lidah ini kelu meski sekedar untuk menyapa. Lalu Ia mengangguk, kemudian menunjuk pada satu sosok yang masih saja terpaku memandangi pantulan jiwanya.
“ Ooo…. Jadi sosok jiwa yang tampan itu namanya Narkhisus ??? “
“ i…i..ya..! put..put..putra Kifisos “. Katanya lagi masih dengan gagap.
“ Lantas, siapakah engkau ?? “
“ Ek…Ekho..! “
“ Kenapa kamu bersembunyi dibalik pohon untuk mengamatinya ?? apakah kamu akan selalu menunggu agar ia tersadar bahwa kamu telah menantinya selama ini ?? “
 “ A..A..Aku..taa..taa..kut “. Jawabnya tertunduk.
“ Kenapa harus takut ?? jika kamu yakin itu belahan jiwamu maka raihlah ia..”. jangan biarkan rasa takut itu menghalangi langkahmu untuk mendapatkanya “. Kataku menambahkan.
“ Taa..ta..tapi…, a..aku ti..ti..tidaklah pan..pantas un..un..untuk men..mendapatkanya, a..apa la..lagi deng..dengan ke..ke..keada..anku sa..sa’at i..i..ni “. Ujarnya pesimis.
“ Kita tidak harus selalu menunggu bola datang pada kita, adakalanya kita yang harus menjemput bola itu “.
“ Sekarang aku akan menunjukkan caranya kepadamu untuk menjemput bolamu “. Kataku meyakinkan.
Tanganku menggerayang mencari batu esmerald yang tersebar seperti kerikil di tepian sungai peneus. Kemudian aku memungutnya satu dan menunjukkan batu itu kepada Ekho, sosok jiwa peri yang gagap. Ia mengerutkan dahinya, tidak mengerti yang akan aku lakukan dengan batu itu dalam hitungan detik berikutnya. Aku ayunkan batu dalam genggaman tangan kananku., sebelum ekho menyadari apa yang aku lakukan maka dengan cepat aku lontarkan batu esmerald itu kedalam beningnya sungai peneus, tepat mengenai pantulan jiwa Narkhisus.
“ Ti..Ti..daak !” katanya mencegahku. Namun telat, aku sudah terlanjur mengusik ketenangan sungai itu. Dan aku sudah bisa memprediksi apa yang akan selanjutnya terjadi.
“ TIDAAAKK……!!!! Jangan pergiii…!!! Jangan tinggalkan aku…..!! “. Teriak Narkhisus histeris kehilangan pantulan dirinya sendiri.
“ Apa yang telah kamu lakukan ?!! Apa kamu tahu akibat yang telah kamu perbuat ??! kamu membiarkan belahan jiwaku hilang dari sisiku ! “ . Nada bicaranya semakin meninggi.
“ Aku tahu. Dan aku punya alasan melakukan itu “ . jawabku berusaha setenang mungkin.
Narkhisus hanya diam. Ia tahu kata-kataku belum selesai sampai disitu saja. melihat hal itu lantas aku kembali berkata,
   Belahan jiwa ?? apa kamu sadar dengan apa yang kamu lakukan selama ini ?? kamu menghabiskan waktu dan tenagamu untuk mencintai diri kamu sendiri ! bukankah itu hal yang egois?? Kamu terkurung dalam dunia yang kamu ciptakan sendiri. Kamu bahkan tidak menyadari sedikitpun kehadiran sosok jiwa yang senantiasa mengamatimu dari jarak jauh supaya kamu tidak terganggu. Namun ia tetap bahagia meski sekedar melihatmu bahagia dari seberang sungai “ .
“ kita adalah sesosok jiwa yang belum sempurna. Maka dari itu kita memerlukan belahan jiwa yang akan melengkapi jiwa kita. Sedang belahan jiwamu bukanlah sosok yang selalu kamu amati tiada henti, karena ia sekedar pantulan dari jiwa kamu sendiri. Jika kamu ingin tahu siapa belahan jiwa kamu, maka jawaban itu ada padanya “. Kataku menunjuk Ekho, sang peri yang gagap.
Narkhisus menoleh sekilas kearah Ekho, kemudian berbalik lagi mengamati kebeningan sungai peneus yang menampakkan pantulan jiwanya kembali. Melihat hal itu Ekho pasrah jika ia tidak akan pernah bisa mendapatkan belahan jiwanya. Sedang aku khawatir jika semua yg telah aku ucapkan tidak mampu mengubah mindset tentang kecintaannya terhadap pantulan dirinya. Namun siapa sangka ia malah melambaikan tangan kepada pantulan jiwanya dan ia melihat jika pantulan dirinya melambaikan tangan juga dari sisi sebaliknya.
“ Apa yang kamu ucapkan benar adanya “. Perkataan Narkhisus memecahkan keheningan. Lalu aku tahu bahwa apa yang telah aku lakukan berhasil, kini tugasku telah selesai.
Aku beranjak dari zona nyamanku bersamaan dengan hembusan nafas lega.  Aku bersyukur masih bisa membantu jiwa-jiwa yang tengah mencari belahanya, meski pada kenyataanya aku belum bisa mendapatkan belahan jiwaku sendiri. Tiba-tiba rasa penasaran mengusikku untuk mengetahui siapa yang akan menjadi belahan jiwaku.  Rasa penasaran akan belahan jiwa menuntun langkah kakiku menyusuri jalan setapak yang bermuara pada sebuah tempat dimana Tuhan bersemayam dengan penjagaan penuh malaikat-malaikat Arsy, Tempat dimana Tuhan mengendalikan segala persoalan makhluk-Nya di alam semesta. Dan tempat ini dikelilingi 4 buah sungai, yang pertama adalah sungai yang berisi cahaya yang kemilauan, yang kedua adalah sungai yang bermuatan salju putih berkilauan, yang ketiga adalah sungai yang penuh dengan air yang beningnya melebihi telaga kautsar, dan yang terakhir sungai yang berisi api yang menyala kemerahan. Disetiap sungai berdiri para malaikat yang tidak putus-putusnya mengumandangkan pujian kepada sang Pencipta.
Namun, kini keraguan menyergapku melihat malaikat-malaikat penjaga itu. Tatapannya seolah mengisyaratkan penolakan yang sangat tegas akan kehadiranku disini. Tetapi anehnya, hal itu tidak mampu menyurutkan keinginanku untuk bertanya kepada sang pemberi jiwa akan belahan jiwaku, kenapa hingga detik ini aku dibiarkan lepas tanpa belahanya. Aku berusaha bernegosiasi dengan para malaikat penjaga, akan tetapi tidak satupun kata yang terucap digubris mereka. Hanya dengan bermodalkan tekad aku memaksakan diri sepenuhnya untuk menerobos pertahanan malaikat-malaikat penjagan itu. Kekuatan penuh telah aku kerahkan, tetapi aku tidak mampu menggeser seincipun. Aku mencoba dan terus mencoba, hingga aku tiada daya. Keseimbanganku roboh, aku merasa jiwaku melayang, namun sebelum akhirnya semua berubah menjadi gelab, dalam keadaan sadar dan tidak aku sempat melihat bahwa Hijab itu telah terbuka.