Menjadi seorang guru merupakan suatu profesi yang tidak mudah dijalani tanpa dibekali
dengan pendidikan dan pengetahuan yang memadai. Tak cukup dua hal tersebut,
diperlukan minat dan pengorbanan. Menjadi seorang guru berarti memikul amanah yang
begitu besar, yang mesti dipertanggungjawabkan, tidak hanya di hadapan manusia
melainkan juga kepada Allah SWT. Singkatnya untuk menjalani profesi sebagai guru perlu
dilakoni dengan sepenuh hati, melibatkan hampir segenap kemampuan jiwa dan raga,
kemampuan intelektual, emosional, bahkan spiritual sekaligus.
Bila kita mengacu pada pandangan konstruktivisme tentang pembelajaran, maka
kehadiran guru dan siswa di ruang kelas lebih dari sekedar mengajar (guru) dan belajar
(siswa) dalam pengertian yang dipahami selama ini. Menurut pandangan lama, “mengajar”
berimplikasi dengan “belajar”, siswa belajar kalau guru mengajar. Artinya, dalam kegiatan
belajar-mengajar guru lebih mengambil posisi sebagai produsen yang bersifat aktif,
sedangkan siswa mengambil posisi sebagai konsumen yang bersifat pasif. Dalam
pengertian ini, mengajar lebih dipandang sebagai upaya untuk memberikan informasi atau
upaya memindahkan pengetahuan dari guru kepada siswa.
Sebaliknya, menurut pandangan konstruktivisme, mengajar merupakan kegiatan yang
mengondisikan sehingga memungkinkan berlangsungnya peristiwa belajar. Mengajar berarti
bagaimana guru membelajarkan siswa. Dalam pengertian ini, guru belum dikatakan
mengajar kalau siswa belum belajar. Menurut William H. Burton, mengajar merupakan
upaya memberikan stimulus, bimbingan, pengarahan, dan dorongan kepada siswa agar
terjadi proses belajar. Mengajar berarti mengorganisasikan aktivitas siswa dan memberi
fasilitasi belajar, sehingga dapat belajar dengan baik.
Dengan demikian, untuk dapat tampil menjadi seorang guru yang ideal, memang tidak
cukup hanya mengandalkan penguasaan atas materi atau ilmu yang akan diajarkan. Sebab,
dalam konteks pembelajaran, bahan atau materi pelajaran hanya merupakan perangsang
tindakan guru dalam memberikan dorongan belajar yang diarahkan pada pencapaian tujuan
belajar. Oleh karena itu, seorang guru harus membekali diri dengan sejumlah pengetahuan
dan keterampilan lain yang sangat diperlukan dalam keberhasilan pelaksanaan tugasnya. ini
adalah penting karena guru dalam menjalani profesinya tidak berhadapan dengan benda
mati, melainkan dengan manusia yang disebut dengan peserta didik. Peserta didik yang
dihadapi oleh guru tersebut adalah individu-individu yang unik dan berbeda satu dengan
yang lainnya. Mereka hadir dan berkumpul di dalam ruang kelas dari berbagai latar
belakang juga dengan membawa corak kepribadian, karakteristik, tingkah laku, kecerdasan,
minat, gaya belajar, modal belajar dan berbagai tingkat perkembangan lainnya yang
berbeda-beda pula. Hal tersebut memberikan pengaruh terhadap kemampuan menyerap
pelajaran. Untuk itu, guru perlu memiliki pengetahuan tentang hal tersebut agar dapat
dimanfaatkan untuk membantu anak didik menyerap ilmu pengetahuan. Kesiapan guru
mengenal karakteristik peserta didik dalam proses pembelajaran merupakan modal utama
penyampaian bahan ajar dan menjadi indikator suksesnya pelaksanaan pembelajaran
(Syaiful Sagala, dalam Desmita, 2009). Bagi seorang guru/pendidik khususnya, informasi
2
mengenai karakteristik individu peserta didik ini akan sangat berguna dalam memilih dan
menentukan metode-metode pengajaran yang tepat untuk menjamin kemudahan belajar
bagi setiap peserta didik. Dengan pemahaman atas karakteristik individu peserta didik ini,
guru dapat merekonstruksi dan mengorganisasikan materi pelajaran sedemikian rupa,
memiliki dan menentukan metode yang lebih tepat, sehingga terjadi proses interaksi dari
masing-masing komponen belajar mengajar secara optimal (Desmita, 2009). Berikut ini
adalah sejumlah manfaat bagi guru jika ia memahami psikologi perkembangan peserta didik.
1. Guru akan dapat memberikan harapan yang realistis terhadap anak dan remaja. Hal
ini menjadi penting, karena jika terlalu banyak yang diharapkan pada anak usia
tertentu, anak mungkin akan mengembangkan perasaan tidak mampu jika ia tidak
mencapai standar yang ditetapkan orangtua atau guru. Sebaliknya, jika terlalu sedikit
yang diharapkan dari mereka, mereka akan kehilangan rangsangan untuk lebih
mengembangkan kemampuannya. Di samping itu, ia juga tidak akan merasa senang
terhadap orang yang menilai rendah kemampuan mereka. Dari psikologi
perkembangan, kita akan mengetahui pada usia berapa anak sekolah mulai mampu
berpikir abstrak. Meskipun psikologi perkembangan hanya memberikan gambaran
umum tentang perkembangan anak, tetapi bagaimanapun pengetahuan ini akan
sangat membantu kita mengetahui apa yang diharapkan dari kekhasan masingmasing
secara pribadi.
2. Pengetahuan tentang perkembangan dapat membantu kita dalam memberikan
respon yang tepat terhadap perilaku tertentu seorang anak. Psikologi perkembangan
dapat membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan arti dan
sumber pola berpikir, perasaan, dan tingkah laku anak.
3. Pengetahuan tentang perkembangan peserta didik dapat membantu guru mengenali
kapan perkembangan normal yang sesungguhnya dimulai. Dengan pengetahuan
tentang perkembangan yang normal ini, guru bisa menyusun pedoman dalam bentuk
skala tinggi-berat, skala usia-berat, skala usia-mental, dan skala perkembangan
sosial atau emosional. Karena pola perkembangan untuk semua anak normal hampir
sama, ada kemungkinan untuk mengevaluasi setiap anak menurut norma usia anak
tersebut. Jika perkembangan itu khas, berarti anak itu menyesuaikan diri secara
normal terhadap harapan masyarakat. Sebaliknya, jika terdapat penyimpangan dari
pola yang normal, hal ini dapat dianggap sebagai tanda bahaya adanya penyesuaian
kepribadian, emosional atau sosial yang buruk. Kemudian dapat diambil langkahlangkah
tertentu untuk menemukan penyebab penyimpangan ini dan mengatasinya.
4. Dengan mengetahui pola normal perkembangan, memungkinkan para guru untuk
sebelumnya mempersiapkan anak menghadapi perubahan yang akan terjadi pada
tubuh, perhatian, dan perilakunya.
5. Pengetahuan tentang perkembangan memungkinkan para guru memberikan
bimbingan belajar yang tepat kepada anak.
6. Studi perkembangan dapat membantu kita memahami diri sendiri. Melalui psikologi
perkembangan kita akan mendapatkan wawasan dan pemahaman perjalanan hidup
kita sendiri (sebagai bayi, anak, remaja atau dewasa) seperti bagaimana hidup kita
kelak ketika kita bertumbuh sepanjang tahun-tahun dewasa (sebagai orang dewasa
tengah baya, sebagai dewasa tua). Singkatnya, mempelajari psikologi
perkembangan akan memberikan banyak informasi tentang siapa kita, bagaimana
kita dapat seperti ini dan kemana masa depan akan membawa kita.
3
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya mengenai pentingnya pemahaman seorang
guru terkait dengan perkembangan peserta didiknya, berikut ini akan dijelaskan mengenai
karakteristik umum terkait dengan peserta didik berdasarkan usia, kemampuan kognitif dan
gaya belajar yang akan menunjang keoptimalan kemampuan belajar siswa, diluar faktor
psikologis lainnya.
Karakteristik Anak Usia Sekolah Dasar (SD)
Usia rata-rata anak Indonesia saat masuk sekolah dasar adalah 6 tahun dan selesai
pada usia 12 tahun. Kalau mengacu pada pembagian tahapan perkembangan anak, berarti
anak usia sekolah berada dalam dua masa perkembangan, yaitu masa kanak-kanak tengah
(6-9 tahun) dan masa kanak-kanak akhir (10-12 tahun).
Anak-anak usia sekolah ini memiliki karakteristik yang berbeda dengan anak-anak
usia yang lebih muda. Ia senang bermain, senang bergerak, senang bekerja dalam
kelompok, dan senang merasakan atau melakukan sesuatu secara langsung. Oleh sebab
itu, guru hendaknya mengembangkan pembelajaran yang mengandung unsur permainan,
mengusahakan siswa berpindah atau bergerak, bekerja atau belajar dalam kelompok, serta
memberikan kesempatan untuk terlibat langsung dalam pembelajaran.
Menurut Havighurst, tugas perkembangan anak usia SD meliputi:
1. Menguasai keterampilan fisik yang diperlukan dalam permainan dan aktivitas
fisik.
2. Membina hidup sehat.
3. Belajar bergaul dan bekerja dalam kelompok.
4. Belajar menjalankan peranan sosial sesuai dengan jenis kelamin.
5. Belajar membaca, menulis, dan berhitung agar mampu berpartisipasi dalam
masyarakat.
6. Memperoleh sejumlah konsep yang diperlukan untuk berpikir efektif.
7. Mengembangkan kata hati, moral dan nilai-nilai.
8. Mencapai kemandirian pribadi.
Dalam upaya mencapai setiap tugas perkembangan tersebut, guru dituntut untuk
memberikan bantuan berupa:
1. Menciptakan lingkungan teman sebaya yang mengajarkan keterampilan fisik.
2. Melaksanakan pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk
belajar bergaul dan bekerja dengan teman-teman sebaya sehingga kepribadian
sosialnya berkembang
3. Mengembangkan kegiatan pembelajaran yang memberikan pengalaman yang
konkret atau langsung dalam membangun konsep.
4. Melaksanakan pembelajaran yang dapat mengembangkan nilai-nilai sehinggga
siswa mampu menentukan pilihan yang stabil dan menjadi pegangan bagi
dirinya.
Karakteristik Anak Usai Sekolah Menengah (SMP)
4
Dilihat dari tahapan perkembangan yang disetujui banyak ahli, anak usia sekolah menengah
(SMP) berada pada tahap perkembangan pubertas (10-14 tahun). Terdapat sejumlah
karakteristik yang menonjol pada anak usia SMP ini, yaitu:
1. Terjadinya ketidakseimbangan proporsi tinggi dan berat badan.
2. Mulai timbul ciri-ciri seks sekunder.
3. Kecenderungan ambivalensi, antara keinginan menyendiri dengan keinginan
bergaul, serta keinginan untuk bebas dari dominasi dengan kebutuhan bimbingan
dan bantuan dari orangtua.
4. Senang membandingkan kaedah-kaedah, nilai-nilai etika atau norma dengan
kenyatan yang terjadi dalam kehidupan orang dewasa.
5. Mulai mempertanyakan secara skeptis mengenai eksistensi dan sifat kemurahan dan
keadilan Tuhan.
6. Reaksi dan ekspresi emosi masih labil.
7. Mulai mengembangkan standar dan harapan terhadap perilaku diri sendiri yang
sesuai dengan dunia sosial.
8. Kecenderungan minat dan pilihan karer relatif sudah lebih jelas.
Adanya karakteristik anak usia sekolah menengah yang demikian maka guru diharapkan
untuk:
1. Menerapkan model pembelajaran yang memisahkan siswa pria dan wanita ketika
membahas topik-topik yang berkenaan dengan anatomi dan fisiologi.
2. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyalurkan hobi dan minatnya
melalui kegiatan-kegiatan yang positif.
3. Menerapkan pendekatan pembelajaran yang memperhatikan perbedaan individual
atau kelompok kecil
4. Meningkatkan kerja sama dengan orangtua dan masyarakat untuk mengembangkan
potensi siswa.
5. Tampil menjadi teladan yang baik bagi siswa.
6. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk nbelajar bertanggung jawab.
Karakteristik Anak Usia Remaja (SMP/SMA)
Masa remaja (12-21 Tahun) merupakan masa peralihan antara masa kehiduapan anak-anak
dan masa kehidupan orang dewasa. Masa remaja sering dikenal dengan masa pencarian
jati diri. Masa remaja ditandai dengan sejumlah karakteristik penting, yaitu:
1. Mencapai hubungan yang matang dengan teman sebaya.
2. Dapat menerima dan belajar peran sosial sebagai pria atau wanita dewasa yang
dijunjung tinggi oleh masyarakat.
3. Menerima keadaan fisik dan mampu menggunakannya secara efektif.
4. Mencapai kemandirian emosional dari orangtua dan orang dewasa lainnya.
5. Memilih dan mempersiapkan karier di masa depan sesuai dengan minat dan
kemampuannya.
6. Mengembangkan sikap positif terhadap pernikahan, hidup berkeluarga dan memiliki
anak.
7. Mengembangkan keterampilan intelektual dan konsep-konsep yang diperlukan
sebagai warga negara.
8. Mencapai tingkah laku yang bertanggung jawab secara sosial
5
9. Memperoleh seperangkat nilai dan sistem etika sebagai pedoman dalam bertingkah
laku.
10. Mengembangkan wawasan keagamaan dan meningkatkan religiusitas.
Berbagai karakteristik perkembangan masa remaja tersebut menuntut adanya
pelayanan pendidikan yang mampu memenuhi kebutuhannya. Hal ini dapat dilakukan
guru, diantaranya:
1. Memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang kesehatan reproduksi, bahaya
penyimpangan seksual dan penyalahgunaan narkotika.
2. Membantu siswa mengembangkan sikap apresiatif terhadap postur tubuh atau
kondisi dirinya.
3. Menyediakan fasilitas yang memungkinkan siswa mengembangkan keterampilan
yang sesuai dengan minat dan bakatnya, seperti sarana olahraga, kesenian dan
sebagainya.
4. Memberikan pelatihan untuk mengembangkan keterampilan memecahkan masalah
dan mengambil keputusan.
5. Melatih siswa mengembangkan resiliensi, kemampuan bertahan dalam kondisi sulit
dan penuh godaan.
6. Menerapkan model pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk berpikir kritis,
reflektif, dan positif.
7. Membantu siswa mengembangkan etos kerja yang tinggi dan sikap wiraswasta.
8. Memupuk semangat keberagaman siswa melalui pembelajaran agama terbuka dan
lebih toleran.
9. Menjalin hubungan yang harmonis dengan siswa, dan bersedia mendengarkan
segala keluhan dan problem yang dihadapinya.
Dengan mengetahui karakteristik siswa berdasarkan usia kita akan lebih memahami
kebutuhan siswa berdasarkan tugas perkembangannya di masing-masing usianya.
Selanjutnya akan dibahas kaitannya antara usia dengan tingkat perkembangan kognitif
peserta didik yang akan berperan terhadap proses belajar siswa itu sendiri.
Perkembangan Kognitif Peserta Didik
Agar dapat menyerap pelajaran, aspek kognitif (berpikir) menjadi aspek yang terpenting
dibandingkan aspek fisik maupun aspek finansial. Aspek ini berkembang sejalan dengan
usia anak sehingga Piaget (seorang tokoh psikologi) secara khusus meneliti dan membuat
klasifikasi perkembangan anak ditinjau dari aspek ini secara khusus. Menurut Piaget (dalam
Desmita, 2009):
1. Anak adalah pembelajar aktif. Mereka tak hanya pasif menerima tapi juga secara
natural memiliki rasa ingin tahu untuk mengenal dunia mereka secara aktif. Hal ini
ditunjukkan oleh perilaku anak yang melakukan percobaan dengan objek yang
mereka temukan, memanipulasi benda, serta mengobservasi efek-efek dari tindakan.
Untuk memahami dunia mereka secara aktif, mereka menggunakan “skema“ atau
kerangka yang ada dalam pikiran mereka yang digunakan untuk melakukan
“organisasi” atau “interpretasi”
2. Tak hanya mengumpulkan fakta, mereka juga membangun pemahaman yang
meningkat sehingga didapat suatu pandangan utuh tentang suatu hal. Contohnya
6
dengan mengamati bahwa mainan, makanan, yang selalu jatuh ketika mereka
lepaskan maka mereka mulai membangun pemahaman awal tentang grafitasi.
3. Anak menyesuaikan diri dengan lingkungan melalui proses asimilasi dan akomodasi.
Asimilasi artinya memasukkan pengetahuan baru ke dalam pengetahuan yang sudah
ia miliki. Akomodasi artinya menyesuaikan pengetahuan mereka atau skema yang
mereka miliki dengan lingkungannya.
4. Menurut Piaget, dengan melakukan proses asimilasi dan akomodasi, sistem kognitif
(berpikir) mereka berkembang dari satu tahap ke tahap berikutnya sehingga pada
satu waktu mencapai “equilibrium” yaitu keadaan seimbang antara pengalaman dan
pengetahuan yang ia miliki. Keadaan ini yang ingin dicapai setiap anak namun dalam
perkembangan mereka, ada tahap dimana mereka tidak mengerti suatu konsep atau
pengetahuan baru sehingga mereka mengalami kondisi “disequilibrium” yaitu
semacam ketidaknyamanan mental yang mendorong mereka untuk mencoba
membuat pemahaman tentang apa yang mereka saksikan. Dengan melakukan
akomodasi, menyusun kembali atau menyesuaikan pikiran kembali disesuaikan
dengan lingkungan, maka mereka akan mampu memecahkan masalah atau
memahami kejadian yang membingungkan serta kembali pada keadaan seimbang.
Pergerakan dari kondisi equilibrium ke disequilibrium lalu berubah menjadi
equilibrium disebut sebagai equilibration atau perkembangan pemikiran ke arah yang
lebih kompleks.
Dalam penelitiannya, Piaget menemukan bahwa pikiran anak kecil berbeda secara
kualitatif dengan pikiran anak yang usianya lebih tua. Artinya Piaget menolak teori bahwa
semakin pintar seseorang semakin banyak masalah yang ia mampu pecahkan dalam tes IQ.
Ketika mempelajari perkembangan pikiran anak, Piaget meyakini bahwa pemikiran seorang
anak berkembang sama seperti perkembangan fisik anak. Untuk itu ia membagi
perkembangan kognitif (berpikir) menjadi tahap-tahap berdasarkan usia.
Tahap Pra Operasional‐ Usia 2‐7 tahun
Anak mampu mempresentasikan kembali dunia mereka dalam
kata‐kata dan gambar‐gambar. Hal ini menunjukkan peningkatan
dari informasi lewat panca indra menjadi pemikiran simbolis.
Tahap Konkrit Operasional‐ Usia 7‐11 tahun
Anak mampu berpikir logis atas suatu peristiwa dan mampu
mengklasifikasikan benda ke dalam bentuk yang berbeda‐beda.
Tahap Sensori motor ‐Usia 0‐2 tahun
Bayi belajar mengenal lingkungannya lewat pengalaman yang ia
dapat menggunakan panca indra.
7
Mengacu pada teori di atas, maka karakteristik berpikir anak SD berbeda dengan remaja
SMP.
Karakteristik berpikir anak SD
1. Mampu berpikir melalui urutan sebab akibat
2. Mampu melihat berbagai alternatif solusi
3. Mampu mempertimbangkan logika berpikir
4. Mampu menganalisa hal yang abstrak atau tidak ditangkap oleh panca indra
5. Mampu memahami konsep waktu, ruang
6. Mengenali keadaan awal dan akhir yang berbeda tanpa tau proses yang terjadi di
dalamnya
7. Mampu mengkonversi angka, isi, panjang
8. Mampu memperkirakan waktu tempuh
9. Mampu membuat dugaan-dugaan
10. Mampu memecahkan masalah dengan trial & eror
Karakteristik berpikir anak SMP
1. Mampu berpikir abstrak (sesuatu tanpa bentuk nyata)
2. Mampu berpikir hipotetis (apa yang akan terjadi)
3. Mampu memecahkan masalah dengan perencanaan dan antisipasi
4. Mampu mengembangkan hipotesa dan membuktikannya lewat eksperimen
Pergeseran Paradigma Mengenai Belajar dan Mengajar
Sebagian besar guru masih belum mampu mengubah paradigma dalam mengajar yang
masih terpaku pada metode pengajaran tradisional yang kurang bisa memfasilitasi
kebutuhan peserta didiknya. Berikut beberapa hal kepercayaan keliru berkaitan dengan
proses belajar mengajar:
1. Cara belajar yang terbaik untuk siswa adalah dengan duduk tegap di depan meja.
2. Cara belajar yang terbaik untuk siswa adalah dalam ruangan dengan pencahayaan
yang terang karena pencahayaan yang redup akan merusak mata mereka ketika
membaca dan bekerja.
3. Siswa belajar lebih banyak dan menghasilkan kinerja yang lebih baik dalam
lingkungan yang benar-benar sunyi.
4. Siswa paling mudah mempelajari subjek yang sulit pada awal pagi ketika mereka
dalam kondisi paling waspada.
5. Siswa yang tidak bisa duduk tenang berarti belum siap belajar atau tidak bisa belajar
dengan cara yang benar.
6. Tidak diperbolehkan makan di ruang kelas.
7. Umumnya, semakin bertambah usia siswa, semakin mudah mereka beradapatasi
dengan gaya mengajar seorang guru.
Tahap Formal Operasional‐ Usia 11 tahun ke atas
Remaja berpikir lebih abstrak, logis, dan lebih ideal.
8
Pada masa kini, setiap orang yang menjadi orangtua atau bekerja dalam bidang
pendidikan harus sadar dengan adanya keragaman manusia dan harus berbuat lebih dari
sekedar mengetahui adanya perbedaan di antara anggota keluarga dan siswa-siwa di kelas.
Para guru dan pendidik harus mengetahui keragaman gaya belajar di antara manusia, baik
muda maupun tua. Pada masa sekarang, ketika pendidikan massal merupakan suatu
kelaziman, perkataan lama yang sudah sering diucapkan oleh para guru sekolah menengah:
”Kami tahu apa yang baik untuk siswa kami” dan “metode kami telah terbukti berhasil
selama bertahun-tahun”—justru menghambat para pendidik untuk belajar lebih jauh tentang
kebutuhan belajar individual. Apabila para guru ingin berhasil merangkul seluruh siswanya,
mereka harus mempertimbangkan adanya perbedaan gaya, bukan hanya dalam strategi
pengajaran setiap hari melainkan juga dalam persiapan mengajar.
Ketika siswa di kelas dapat memperoleh pengalaman saat individualitas mereka diterima
dan dibiarkan, bahkan didorong belajar dengan “cara mereka” sendiri, maka hasilnya adalah
motivasi meningkat, tugas sekolah menjadi lebih menyenangkan, keterampilan belajar
membaik. Dan dengan perkembangan-perkembangan positif ini penghargaan diri mereka
pun meningkat.
Saat ini, kegiatan belajar di sekolah sudah banyak bergeser dan berubah. Hasil
penelitian dari ahli otak dan pendidik pernah menyatakan bahwa “proses belajar yang paling
komprehensif adalah dengan meniadakan ancaman, mengorkestrasi secara cermat strategistrategi
pengajaran multidimensi, pengalaman-pengalaman dalam kehidupan nyata dan
pemahaman tentang penghalang-penghalang belajar.
Mereka mengungkapkan beberapa rahasia penelitian otak yang sesuai dengan proses
belajar dan mengajar:
Belajar melibatkan seluruh sistem tubuh
Kita memproses banyak fungsi secara simultan
Kebutuhan untuk mendapatkan alasan logis dari pengalaman kita sudah menjadi
sifat bawaan manusia.
Kita belajar dari apa yang kita alami dan apa yang diberitahukan kepada kita.
Emosi tidak bisa dipisahkan dari proses berpikir dan sangat penting bagi ingatan.
Kita menyerap semua informasi, baik yang sambil lalu maupun yang terfokus.
Kita akan belajar dengan lebih baik apabila ditantang tetapi tidak merasa
terancam.
Semua indra dan emosi-emosi dasar terintegrasi secara berbeda-beda—masingmasing
diri kita adalah unik.
Hal yang tidak kalah pentingnya dalam proses belajar terkait dengan penyerapan materi
adalah gaya belajar peserta didik itu sendiri.
Gaya Belajar
Gaya belajar didefinisikan sebagai:
“…the development of autonomous flexibility in adopting learning approaches
appropriate to particular study tasks and learning intentions and the emancipation of
students from habitual and limiting approaches.”
(Gibbs, Morgan & Taylor, 1980 dalam Slavin, 1994)
9
Dapat disimpulkan, bahwa gaya belajar merupakan kecenderungan siswa untuk
mengadaptasi strategi tertentu dalam belajarnya sebagai bentuk tanggung jawabnya untuk
mendapatkan satu pendekatan belajar yang sesuai dengan tuntutan belajar di kelas/sekolah
maupun tuntutan dari mata pelajaran. Siswa akan belajar dengan gaya belajar yang
berbeda-beda. Dalam menemukan cara untuk mengatasi gaya belajar adalah menentukan
bagaimana menyerap informasi dengan mudah yang disebut sebagai modalitas belajar.
(DePorter,1992 dalam http://issuu.com/ilmuikhlas/docs/jurnal_puskat_edisi_2/60).
Salah satu modalitas belajar berdasarkan The VARK Categories yang dipublikasikan
dalam http://www.vark-learn.com/english/page.asp?p=categories, disimpulkan modalitas
indrawi yang digunakan untuk mempelajari informasi dapat berupa Visual, Auditori,
Read/Write (membaca/menulis), dan Kinestetik. Fleming dan Mills (1992) mengajukan
empat kategori tersebut sebagai berikut:
Visual (V)
Kecenderungan ini mencakup menggambarkan informasi dalam bentuk peta,
diagram, grafik, flow chart, dan simbol visual seperti panah, lingkaran, hirarki dan materi lain,
yang digunakan instruktur untuk merepresentasikan hal-hal yang dapat disampaikan dalam
kata-kata. Hal ini mencakup juga desain, pola, bentuk dan format lain yang digunakan untuk
menandai dan menyampaikan informasi.
Aural / Auditory (A)
Modalitas ini menggambarkan preferensi terhadap informasi yang “didengar atau
diucapkan”. Siswa dengan modalitas ini belajar secara maksimal dari ceramah, tutorial,
tape, diskusi kelompok, bicara, dan membicarakan materi. Hal ini mencakup berbicara
dengan suara keras atau bicara kepada diri sendiri.
Read/Write (R)
Preferensi ini adalah untuk informasi yang ditampilkan dalam bentuk kata-kata.
Preferensi ini menekankan pada input berupa teks dan output berupa bacaan atau tulisan
dalam segala bentuknya. Orang yang memiliki modalitas ini menyukai power point, daftar,
kamus, dan bentuk kata-kata lainnya.
Kinesthetic (K)
Berdasarkan definisi, modalitas ini mengarah pada pengalaman dan latihan (simulasi
atau nyata, meskipun pengalaman tersebut melibatkan modalitas lain. Hal ini mencakup
demonstrasi, simulasi, video dan film dari pelajaran yang sesuai aslinya, sama halnya
dengan studi kasus, latihan, dan aplikasi.
Bagan ciri-ciri belajar Visual, Auditori, Kinestetik (Rose,1987)
Visual Auditori Read/write (R) Kinestetik
menonton televisi, menonton film,
memperhatikan ekspresi wajah
ketika berbicara
Suka mendengarkan radio, musik,
sandiwara-drama, atau lakon,
debat, suka cerita yang dibacakan
kepadanya dengan berbagai
ekspresi.
Suka membaca, mengisi TTS,
lebih suka membaca ketimbang
dibacakan,
Menyukai kegiatan aktif, baik
sosial maupun olah raga, seperti
manari dan lintas alam.
Mengingat orang melalui
penglihatan
Ingat dengan baik nama orang,
bagus dalam mengingat fakta,
suka berbicara dan punya
perbendaharaan kata luas.
mengingat kata-kata dengan
melihat dan biasanya bagus
dalam mengeja
Ingat kejadian-kejadian atau halhal
yang terjadi.
Kalau memberi atau menerima
penjelasan arah lebih suka
memakai peta/gambar
Menerima atau memberikan
penjelasan arah dengan katakata.
Senang menerima instruksi
secara verbal
Memberi dan menerima
penjelasan arah dengan
menggunakan instruksi tertulis.
Memberi dan menerima
penjelasan arah dengan mengikuti
jalan yang dimaksud
Menyatakan emosi melalui
ekspresi muka
Mengungkapkan emosi secara
verbal melalui perubahan nada
bicara atau vokal
Menyatakan emosi melalui tulisan,
seperti surat, puisi atau cerita.
Mengungkapkan emosi melalui
bahasa tubuh-gerak / nada otot
Aktivitas kreatif: menggambar,
melukis, merancang (mendesain),
melukis di udara
Aktivitas kreatif: menyanyi,
mendongeng (mengobrol apa
saja), bermain musik, berdebat,
membuat cerita lucu, berfilosofi
Aktivitas kreatif: menulis Aktivitas kreatif: kerajinan tangan,
berkebun, menari, berolah raga
Menangani proyek dengan Menangani proyek dengan Mengorganisasikan rencara Menangani proyek langkah demi
10
Visual Auditori Read/write (R) Kinestetik
merencanakan sebelumnya.
Berorientasi detail
berpijak pada prosedur,
memperdebatkan masalah,
mangatasi solusi verbal.
permainan dengan menghimpun
daftarnya terlebih dahulu.
langkah, suka menggulung lengan
bajunya dan terlibat secara fisik
Cenderung berbicara cepat tetapi
mungkin cukup pendiam di dalam
kelas.
Berbicara dengan kecepatan
sedang, suka bicara bahkan di
dalam kelas.
Cenderung menyampaikan
melalui tulisan.
Berbicara agak lambat.
Berhubungan dengan orang lain
lewat kontak mata dan ekspresi
wajah
Berhubungan dengan orang lain
lewat dialog, diskusi terbuka.
Berhubungan dengan orang lain
melalui tulisan, misalnya surat.
Berhubungan dengan orang lain
lewat kontak fisik,
mendekat/akrab, menyentuh
Saat diam suka melamun atau
menatap angkasa.
Saat diam suka bercakap-cakap
dengan dirinya sendiri.
Saat diam suka membaca. Saat diam, merasa gelisah, tidak
bisa duduk tenang.
Menjalankan bisnis atas dasar
hubungan personal antar wajah
Suka menjalankan bisnis melalui
telepon.
Menjalankan bisnis atas dasar
perjanjian atau keterangan tertulis.
Suka melakukan urusan seraya
melakukan sesuatu.
Punya ingatan visual bagus, ingat
dimana meninggalkan sesuatu
beberapa hari yang lalu.
Cenderung mengingat dengan
baik kata-kata denan gagasan
yang pernah diucapkan.
Mengingat tulisan yang terdapat di
buku / catatan.
Ingat lebih baik menggunakan alat
bantu belajar tiga dimensi.
Merespon lebih baik ketika anda
perlihatkan sesuatu ketimbang
cerita tentangnya
Merespom lebih baik tatkala
mendengar informasi ketimbang
membaca.
Merespon lebih baik ketika
diperlihatkan materi yang sarat
dengan tulisan.
Belajar konsep lebih baik dengan
menangani objek secara fisik.
TIPE VISUAL
Media/bahan yang cocok:
Guru yang menggunakan bahasa tubuh atau gambar dalam menerangkan.
Media gambar, video, poster dan sebagainya.
Buku yang banyak mencantumkan diagram atau gambar
Flow chart
Grafik
Menandai bagian-bagian yang penting dari bahan ajar dengan menggunakan warna
yang berbeda
Simbol-simbol visual
Strategi belajar:
Mengganti kata-kata dengan simbol atau gambar
TIPE AUDITORI
Media/bahan yang cocok:
Menghadiri kelas
Diskusi
Membahas suatu topik bersama dengan teman
Membahas suatu topik bersama dengan guru
Menjelaskan ide-ide baru kepada orang lain
Menggunakan perekam
Mengingat cerita, contoh, atau lelucon yang menarik
Menjelaskan bahan yang didapat secara visual (gambar, power point, dsb.)
Strategi belajar:
Catatan yang Anda buat mungkin sangat tidak memadai. Tambahkan informasi yang
didapat dengan cara berbicara dengan orang lain dan mengumpulkan catatan dari
buku.
Rekam ringkasan dari catatan yang dibuat dan dengarkan rekaman tersebut
Minta orang lain untuk ‘mendengar’ pemahaman Anda mengenai suatu topik
Baca buku atau catatan dengan keras
TIPE BACA/TULIS:
Media/bahan yang cocok:
Kamus
11
Handout
Buku teks
Catatan
Daftar
Essay
Membaca buku manual
Strategi belajar:
Tuliskan kata-kata secara berulang-ulang
Baca catatan Anda (dengan sunyi) secara berkali-kali
Tulis kembali ide atau informasi dengan kalimat yang berbeda
Terjemahkan semua diagram, gambar, dan sebagainya ke dalam kata-kata
TIPE KINESTETIK
Media/bahan yang cocok:
Menggunakan seluruh panca indera – penglihatan, sentuhan, pengecap, penciuman,
pendengaran.
Laboraturium
Kunjungan lapangan
Pembicara yang memberikan contoh kehidupan nyata
Pengaplikasian
Pameran, sampel, fotografi
Koleksi berbagai macam tumbuhan, serangga, dan sebagainya
Strategi belajar:
Anda akan mengingat kejadian nyata yang terjadi
Masukan berbagai macam contoh untuk memudahkan dalam mengingat konsep
Gunakan benda-benda untuk mengilustrasikan ide
Kembali ke laboraturium, atau tempat Anda dapat melakukan eksprimen
Mengingat kembali mengenai eksperimen, kunjungan lapangan, dan sebagainya.
Penelitian di Amerika, Jepang, Hongkong pada anak kelas 5 – 12 menunjukkan hasil
kecenderungan belajar sebagai berikut: Visual = 29 %, Auditori = 34 %, Kinestetik = 37 %.
Ketika mereka mencapai usia dewasa, visual cenderung menjadi dominan. Berdasarkan
studi yang dilakukan oleh Universitas of Wisconsin, bila alat bantu visual digunakan untuk
mengajarkan perbendaharaan kata maka peningkatan kemampuan peserta sampai 200%.
Dilihat dari hasil penelitian tersebut sebaiknya guru juga harus lebih aktif dalam
menggunakan metode pengajaran yang tepat untuk bisa mengakomodir semua modalitas
belajar siswa baik secara visual, auditori, maupun kinestetik sehingga penyerapan materi
lebih efektif. Beberapa metode pengajaran yang dikembangkan selama ini lebih mengacu
pada hanya satu modalitas saja sehingga terkadang menjadi kurang efektif karena hanya
memfasilitasi segelintir siswa saja. Seperti metode ceramah dalam bentuk penjelasan materi
tanpa disertai alat peraga, hanya akan memfasilitasi siswa yang memiliki modalitas auditori
sedangkan bila disertai alat peraga bisa memfasilitasi siswa yang memiliki modalitas visual.
Namun, cara tersebut kurang bisa memfasilitasi siswa yang memiliki modalitas kinestetik.
Untuk itu, guru juga perlu mengembangkan metode mengajar yang efektif dikaitkan dengan
kebutuhan peserta didiknya dari aspek perkembangan usia, kognitif, dan gaya belajar
sehingga kegiatan belajar menjadi lebih efektif dan optimal.
12
Daftar Pustaka
De Porter, B & Hernacki, M. (1992). Quantum Learning: Membiasakan belajar nyaman dan
menyenangkan. New York: Dell Publishing.
Desmita. (2009). Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Prashnig, B. (2007). The Power of Learning Styles. Jakarta: Kaifa.
Slavin, R.E. (1994). Educational Psychology (Theory & Practice). Massachussetts: Allyn and
Bacon.
http://issuu.com/ilmuikhlas/docs/jurnal_puskat_edisi_2/60
http://www.vark-learn.com/english/page.asp?p=categories
dengan pendidikan dan pengetahuan yang memadai. Tak cukup dua hal tersebut,
diperlukan minat dan pengorbanan. Menjadi seorang guru berarti memikul amanah yang
begitu besar, yang mesti dipertanggungjawabkan, tidak hanya di hadapan manusia
melainkan juga kepada Allah SWT. Singkatnya untuk menjalani profesi sebagai guru perlu
dilakoni dengan sepenuh hati, melibatkan hampir segenap kemampuan jiwa dan raga,
kemampuan intelektual, emosional, bahkan spiritual sekaligus.
Bila kita mengacu pada pandangan konstruktivisme tentang pembelajaran, maka
kehadiran guru dan siswa di ruang kelas lebih dari sekedar mengajar (guru) dan belajar
(siswa) dalam pengertian yang dipahami selama ini. Menurut pandangan lama, “mengajar”
berimplikasi dengan “belajar”, siswa belajar kalau guru mengajar. Artinya, dalam kegiatan
belajar-mengajar guru lebih mengambil posisi sebagai produsen yang bersifat aktif,
sedangkan siswa mengambil posisi sebagai konsumen yang bersifat pasif. Dalam
pengertian ini, mengajar lebih dipandang sebagai upaya untuk memberikan informasi atau
upaya memindahkan pengetahuan dari guru kepada siswa.
Sebaliknya, menurut pandangan konstruktivisme, mengajar merupakan kegiatan yang
mengondisikan sehingga memungkinkan berlangsungnya peristiwa belajar. Mengajar berarti
bagaimana guru membelajarkan siswa. Dalam pengertian ini, guru belum dikatakan
mengajar kalau siswa belum belajar. Menurut William H. Burton, mengajar merupakan
upaya memberikan stimulus, bimbingan, pengarahan, dan dorongan kepada siswa agar
terjadi proses belajar. Mengajar berarti mengorganisasikan aktivitas siswa dan memberi
fasilitasi belajar, sehingga dapat belajar dengan baik.
Dengan demikian, untuk dapat tampil menjadi seorang guru yang ideal, memang tidak
cukup hanya mengandalkan penguasaan atas materi atau ilmu yang akan diajarkan. Sebab,
dalam konteks pembelajaran, bahan atau materi pelajaran hanya merupakan perangsang
tindakan guru dalam memberikan dorongan belajar yang diarahkan pada pencapaian tujuan
belajar. Oleh karena itu, seorang guru harus membekali diri dengan sejumlah pengetahuan
dan keterampilan lain yang sangat diperlukan dalam keberhasilan pelaksanaan tugasnya. ini
adalah penting karena guru dalam menjalani profesinya tidak berhadapan dengan benda
mati, melainkan dengan manusia yang disebut dengan peserta didik. Peserta didik yang
dihadapi oleh guru tersebut adalah individu-individu yang unik dan berbeda satu dengan
yang lainnya. Mereka hadir dan berkumpul di dalam ruang kelas dari berbagai latar
belakang juga dengan membawa corak kepribadian, karakteristik, tingkah laku, kecerdasan,
minat, gaya belajar, modal belajar dan berbagai tingkat perkembangan lainnya yang
berbeda-beda pula. Hal tersebut memberikan pengaruh terhadap kemampuan menyerap
pelajaran. Untuk itu, guru perlu memiliki pengetahuan tentang hal tersebut agar dapat
dimanfaatkan untuk membantu anak didik menyerap ilmu pengetahuan. Kesiapan guru
mengenal karakteristik peserta didik dalam proses pembelajaran merupakan modal utama
penyampaian bahan ajar dan menjadi indikator suksesnya pelaksanaan pembelajaran
(Syaiful Sagala, dalam Desmita, 2009). Bagi seorang guru/pendidik khususnya, informasi
2
mengenai karakteristik individu peserta didik ini akan sangat berguna dalam memilih dan
menentukan metode-metode pengajaran yang tepat untuk menjamin kemudahan belajar
bagi setiap peserta didik. Dengan pemahaman atas karakteristik individu peserta didik ini,
guru dapat merekonstruksi dan mengorganisasikan materi pelajaran sedemikian rupa,
memiliki dan menentukan metode yang lebih tepat, sehingga terjadi proses interaksi dari
masing-masing komponen belajar mengajar secara optimal (Desmita, 2009). Berikut ini
adalah sejumlah manfaat bagi guru jika ia memahami psikologi perkembangan peserta didik.
1. Guru akan dapat memberikan harapan yang realistis terhadap anak dan remaja. Hal
ini menjadi penting, karena jika terlalu banyak yang diharapkan pada anak usia
tertentu, anak mungkin akan mengembangkan perasaan tidak mampu jika ia tidak
mencapai standar yang ditetapkan orangtua atau guru. Sebaliknya, jika terlalu sedikit
yang diharapkan dari mereka, mereka akan kehilangan rangsangan untuk lebih
mengembangkan kemampuannya. Di samping itu, ia juga tidak akan merasa senang
terhadap orang yang menilai rendah kemampuan mereka. Dari psikologi
perkembangan, kita akan mengetahui pada usia berapa anak sekolah mulai mampu
berpikir abstrak. Meskipun psikologi perkembangan hanya memberikan gambaran
umum tentang perkembangan anak, tetapi bagaimanapun pengetahuan ini akan
sangat membantu kita mengetahui apa yang diharapkan dari kekhasan masingmasing
secara pribadi.
2. Pengetahuan tentang perkembangan dapat membantu kita dalam memberikan
respon yang tepat terhadap perilaku tertentu seorang anak. Psikologi perkembangan
dapat membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan arti dan
sumber pola berpikir, perasaan, dan tingkah laku anak.
3. Pengetahuan tentang perkembangan peserta didik dapat membantu guru mengenali
kapan perkembangan normal yang sesungguhnya dimulai. Dengan pengetahuan
tentang perkembangan yang normal ini, guru bisa menyusun pedoman dalam bentuk
skala tinggi-berat, skala usia-berat, skala usia-mental, dan skala perkembangan
sosial atau emosional. Karena pola perkembangan untuk semua anak normal hampir
sama, ada kemungkinan untuk mengevaluasi setiap anak menurut norma usia anak
tersebut. Jika perkembangan itu khas, berarti anak itu menyesuaikan diri secara
normal terhadap harapan masyarakat. Sebaliknya, jika terdapat penyimpangan dari
pola yang normal, hal ini dapat dianggap sebagai tanda bahaya adanya penyesuaian
kepribadian, emosional atau sosial yang buruk. Kemudian dapat diambil langkahlangkah
tertentu untuk menemukan penyebab penyimpangan ini dan mengatasinya.
4. Dengan mengetahui pola normal perkembangan, memungkinkan para guru untuk
sebelumnya mempersiapkan anak menghadapi perubahan yang akan terjadi pada
tubuh, perhatian, dan perilakunya.
5. Pengetahuan tentang perkembangan memungkinkan para guru memberikan
bimbingan belajar yang tepat kepada anak.
6. Studi perkembangan dapat membantu kita memahami diri sendiri. Melalui psikologi
perkembangan kita akan mendapatkan wawasan dan pemahaman perjalanan hidup
kita sendiri (sebagai bayi, anak, remaja atau dewasa) seperti bagaimana hidup kita
kelak ketika kita bertumbuh sepanjang tahun-tahun dewasa (sebagai orang dewasa
tengah baya, sebagai dewasa tua). Singkatnya, mempelajari psikologi
perkembangan akan memberikan banyak informasi tentang siapa kita, bagaimana
kita dapat seperti ini dan kemana masa depan akan membawa kita.
3
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya mengenai pentingnya pemahaman seorang
guru terkait dengan perkembangan peserta didiknya, berikut ini akan dijelaskan mengenai
karakteristik umum terkait dengan peserta didik berdasarkan usia, kemampuan kognitif dan
gaya belajar yang akan menunjang keoptimalan kemampuan belajar siswa, diluar faktor
psikologis lainnya.
Karakteristik Anak Usia Sekolah Dasar (SD)
Usia rata-rata anak Indonesia saat masuk sekolah dasar adalah 6 tahun dan selesai
pada usia 12 tahun. Kalau mengacu pada pembagian tahapan perkembangan anak, berarti
anak usia sekolah berada dalam dua masa perkembangan, yaitu masa kanak-kanak tengah
(6-9 tahun) dan masa kanak-kanak akhir (10-12 tahun).
Anak-anak usia sekolah ini memiliki karakteristik yang berbeda dengan anak-anak
usia yang lebih muda. Ia senang bermain, senang bergerak, senang bekerja dalam
kelompok, dan senang merasakan atau melakukan sesuatu secara langsung. Oleh sebab
itu, guru hendaknya mengembangkan pembelajaran yang mengandung unsur permainan,
mengusahakan siswa berpindah atau bergerak, bekerja atau belajar dalam kelompok, serta
memberikan kesempatan untuk terlibat langsung dalam pembelajaran.
Menurut Havighurst, tugas perkembangan anak usia SD meliputi:
1. Menguasai keterampilan fisik yang diperlukan dalam permainan dan aktivitas
fisik.
2. Membina hidup sehat.
3. Belajar bergaul dan bekerja dalam kelompok.
4. Belajar menjalankan peranan sosial sesuai dengan jenis kelamin.
5. Belajar membaca, menulis, dan berhitung agar mampu berpartisipasi dalam
masyarakat.
6. Memperoleh sejumlah konsep yang diperlukan untuk berpikir efektif.
7. Mengembangkan kata hati, moral dan nilai-nilai.
8. Mencapai kemandirian pribadi.
Dalam upaya mencapai setiap tugas perkembangan tersebut, guru dituntut untuk
memberikan bantuan berupa:
1. Menciptakan lingkungan teman sebaya yang mengajarkan keterampilan fisik.
2. Melaksanakan pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk
belajar bergaul dan bekerja dengan teman-teman sebaya sehingga kepribadian
sosialnya berkembang
3. Mengembangkan kegiatan pembelajaran yang memberikan pengalaman yang
konkret atau langsung dalam membangun konsep.
4. Melaksanakan pembelajaran yang dapat mengembangkan nilai-nilai sehinggga
siswa mampu menentukan pilihan yang stabil dan menjadi pegangan bagi
dirinya.
Karakteristik Anak Usai Sekolah Menengah (SMP)
4
Dilihat dari tahapan perkembangan yang disetujui banyak ahli, anak usia sekolah menengah
(SMP) berada pada tahap perkembangan pubertas (10-14 tahun). Terdapat sejumlah
karakteristik yang menonjol pada anak usia SMP ini, yaitu:
1. Terjadinya ketidakseimbangan proporsi tinggi dan berat badan.
2. Mulai timbul ciri-ciri seks sekunder.
3. Kecenderungan ambivalensi, antara keinginan menyendiri dengan keinginan
bergaul, serta keinginan untuk bebas dari dominasi dengan kebutuhan bimbingan
dan bantuan dari orangtua.
4. Senang membandingkan kaedah-kaedah, nilai-nilai etika atau norma dengan
kenyatan yang terjadi dalam kehidupan orang dewasa.
5. Mulai mempertanyakan secara skeptis mengenai eksistensi dan sifat kemurahan dan
keadilan Tuhan.
6. Reaksi dan ekspresi emosi masih labil.
7. Mulai mengembangkan standar dan harapan terhadap perilaku diri sendiri yang
sesuai dengan dunia sosial.
8. Kecenderungan minat dan pilihan karer relatif sudah lebih jelas.
Adanya karakteristik anak usia sekolah menengah yang demikian maka guru diharapkan
untuk:
1. Menerapkan model pembelajaran yang memisahkan siswa pria dan wanita ketika
membahas topik-topik yang berkenaan dengan anatomi dan fisiologi.
2. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyalurkan hobi dan minatnya
melalui kegiatan-kegiatan yang positif.
3. Menerapkan pendekatan pembelajaran yang memperhatikan perbedaan individual
atau kelompok kecil
4. Meningkatkan kerja sama dengan orangtua dan masyarakat untuk mengembangkan
potensi siswa.
5. Tampil menjadi teladan yang baik bagi siswa.
6. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk nbelajar bertanggung jawab.
Karakteristik Anak Usia Remaja (SMP/SMA)
Masa remaja (12-21 Tahun) merupakan masa peralihan antara masa kehiduapan anak-anak
dan masa kehidupan orang dewasa. Masa remaja sering dikenal dengan masa pencarian
jati diri. Masa remaja ditandai dengan sejumlah karakteristik penting, yaitu:
1. Mencapai hubungan yang matang dengan teman sebaya.
2. Dapat menerima dan belajar peran sosial sebagai pria atau wanita dewasa yang
dijunjung tinggi oleh masyarakat.
3. Menerima keadaan fisik dan mampu menggunakannya secara efektif.
4. Mencapai kemandirian emosional dari orangtua dan orang dewasa lainnya.
5. Memilih dan mempersiapkan karier di masa depan sesuai dengan minat dan
kemampuannya.
6. Mengembangkan sikap positif terhadap pernikahan, hidup berkeluarga dan memiliki
anak.
7. Mengembangkan keterampilan intelektual dan konsep-konsep yang diperlukan
sebagai warga negara.
8. Mencapai tingkah laku yang bertanggung jawab secara sosial
5
9. Memperoleh seperangkat nilai dan sistem etika sebagai pedoman dalam bertingkah
laku.
10. Mengembangkan wawasan keagamaan dan meningkatkan religiusitas.
Berbagai karakteristik perkembangan masa remaja tersebut menuntut adanya
pelayanan pendidikan yang mampu memenuhi kebutuhannya. Hal ini dapat dilakukan
guru, diantaranya:
1. Memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang kesehatan reproduksi, bahaya
penyimpangan seksual dan penyalahgunaan narkotika.
2. Membantu siswa mengembangkan sikap apresiatif terhadap postur tubuh atau
kondisi dirinya.
3. Menyediakan fasilitas yang memungkinkan siswa mengembangkan keterampilan
yang sesuai dengan minat dan bakatnya, seperti sarana olahraga, kesenian dan
sebagainya.
4. Memberikan pelatihan untuk mengembangkan keterampilan memecahkan masalah
dan mengambil keputusan.
5. Melatih siswa mengembangkan resiliensi, kemampuan bertahan dalam kondisi sulit
dan penuh godaan.
6. Menerapkan model pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk berpikir kritis,
reflektif, dan positif.
7. Membantu siswa mengembangkan etos kerja yang tinggi dan sikap wiraswasta.
8. Memupuk semangat keberagaman siswa melalui pembelajaran agama terbuka dan
lebih toleran.
9. Menjalin hubungan yang harmonis dengan siswa, dan bersedia mendengarkan
segala keluhan dan problem yang dihadapinya.
Dengan mengetahui karakteristik siswa berdasarkan usia kita akan lebih memahami
kebutuhan siswa berdasarkan tugas perkembangannya di masing-masing usianya.
Selanjutnya akan dibahas kaitannya antara usia dengan tingkat perkembangan kognitif
peserta didik yang akan berperan terhadap proses belajar siswa itu sendiri.
Perkembangan Kognitif Peserta Didik
Agar dapat menyerap pelajaran, aspek kognitif (berpikir) menjadi aspek yang terpenting
dibandingkan aspek fisik maupun aspek finansial. Aspek ini berkembang sejalan dengan
usia anak sehingga Piaget (seorang tokoh psikologi) secara khusus meneliti dan membuat
klasifikasi perkembangan anak ditinjau dari aspek ini secara khusus. Menurut Piaget (dalam
Desmita, 2009):
1. Anak adalah pembelajar aktif. Mereka tak hanya pasif menerima tapi juga secara
natural memiliki rasa ingin tahu untuk mengenal dunia mereka secara aktif. Hal ini
ditunjukkan oleh perilaku anak yang melakukan percobaan dengan objek yang
mereka temukan, memanipulasi benda, serta mengobservasi efek-efek dari tindakan.
Untuk memahami dunia mereka secara aktif, mereka menggunakan “skema“ atau
kerangka yang ada dalam pikiran mereka yang digunakan untuk melakukan
“organisasi” atau “interpretasi”
2. Tak hanya mengumpulkan fakta, mereka juga membangun pemahaman yang
meningkat sehingga didapat suatu pandangan utuh tentang suatu hal. Contohnya
6
dengan mengamati bahwa mainan, makanan, yang selalu jatuh ketika mereka
lepaskan maka mereka mulai membangun pemahaman awal tentang grafitasi.
3. Anak menyesuaikan diri dengan lingkungan melalui proses asimilasi dan akomodasi.
Asimilasi artinya memasukkan pengetahuan baru ke dalam pengetahuan yang sudah
ia miliki. Akomodasi artinya menyesuaikan pengetahuan mereka atau skema yang
mereka miliki dengan lingkungannya.
4. Menurut Piaget, dengan melakukan proses asimilasi dan akomodasi, sistem kognitif
(berpikir) mereka berkembang dari satu tahap ke tahap berikutnya sehingga pada
satu waktu mencapai “equilibrium” yaitu keadaan seimbang antara pengalaman dan
pengetahuan yang ia miliki. Keadaan ini yang ingin dicapai setiap anak namun dalam
perkembangan mereka, ada tahap dimana mereka tidak mengerti suatu konsep atau
pengetahuan baru sehingga mereka mengalami kondisi “disequilibrium” yaitu
semacam ketidaknyamanan mental yang mendorong mereka untuk mencoba
membuat pemahaman tentang apa yang mereka saksikan. Dengan melakukan
akomodasi, menyusun kembali atau menyesuaikan pikiran kembali disesuaikan
dengan lingkungan, maka mereka akan mampu memecahkan masalah atau
memahami kejadian yang membingungkan serta kembali pada keadaan seimbang.
Pergerakan dari kondisi equilibrium ke disequilibrium lalu berubah menjadi
equilibrium disebut sebagai equilibration atau perkembangan pemikiran ke arah yang
lebih kompleks.
Dalam penelitiannya, Piaget menemukan bahwa pikiran anak kecil berbeda secara
kualitatif dengan pikiran anak yang usianya lebih tua. Artinya Piaget menolak teori bahwa
semakin pintar seseorang semakin banyak masalah yang ia mampu pecahkan dalam tes IQ.
Ketika mempelajari perkembangan pikiran anak, Piaget meyakini bahwa pemikiran seorang
anak berkembang sama seperti perkembangan fisik anak. Untuk itu ia membagi
perkembangan kognitif (berpikir) menjadi tahap-tahap berdasarkan usia.
Tahap Pra Operasional‐ Usia 2‐7 tahun
Anak mampu mempresentasikan kembali dunia mereka dalam
kata‐kata dan gambar‐gambar. Hal ini menunjukkan peningkatan
dari informasi lewat panca indra menjadi pemikiran simbolis.
Tahap Konkrit Operasional‐ Usia 7‐11 tahun
Anak mampu berpikir logis atas suatu peristiwa dan mampu
mengklasifikasikan benda ke dalam bentuk yang berbeda‐beda.
Tahap Sensori motor ‐Usia 0‐2 tahun
Bayi belajar mengenal lingkungannya lewat pengalaman yang ia
dapat menggunakan panca indra.
7
Mengacu pada teori di atas, maka karakteristik berpikir anak SD berbeda dengan remaja
SMP.
Karakteristik berpikir anak SD
1. Mampu berpikir melalui urutan sebab akibat
2. Mampu melihat berbagai alternatif solusi
3. Mampu mempertimbangkan logika berpikir
4. Mampu menganalisa hal yang abstrak atau tidak ditangkap oleh panca indra
5. Mampu memahami konsep waktu, ruang
6. Mengenali keadaan awal dan akhir yang berbeda tanpa tau proses yang terjadi di
dalamnya
7. Mampu mengkonversi angka, isi, panjang
8. Mampu memperkirakan waktu tempuh
9. Mampu membuat dugaan-dugaan
10. Mampu memecahkan masalah dengan trial & eror
Karakteristik berpikir anak SMP
1. Mampu berpikir abstrak (sesuatu tanpa bentuk nyata)
2. Mampu berpikir hipotetis (apa yang akan terjadi)
3. Mampu memecahkan masalah dengan perencanaan dan antisipasi
4. Mampu mengembangkan hipotesa dan membuktikannya lewat eksperimen
Pergeseran Paradigma Mengenai Belajar dan Mengajar
Sebagian besar guru masih belum mampu mengubah paradigma dalam mengajar yang
masih terpaku pada metode pengajaran tradisional yang kurang bisa memfasilitasi
kebutuhan peserta didiknya. Berikut beberapa hal kepercayaan keliru berkaitan dengan
proses belajar mengajar:
1. Cara belajar yang terbaik untuk siswa adalah dengan duduk tegap di depan meja.
2. Cara belajar yang terbaik untuk siswa adalah dalam ruangan dengan pencahayaan
yang terang karena pencahayaan yang redup akan merusak mata mereka ketika
membaca dan bekerja.
3. Siswa belajar lebih banyak dan menghasilkan kinerja yang lebih baik dalam
lingkungan yang benar-benar sunyi.
4. Siswa paling mudah mempelajari subjek yang sulit pada awal pagi ketika mereka
dalam kondisi paling waspada.
5. Siswa yang tidak bisa duduk tenang berarti belum siap belajar atau tidak bisa belajar
dengan cara yang benar.
6. Tidak diperbolehkan makan di ruang kelas.
7. Umumnya, semakin bertambah usia siswa, semakin mudah mereka beradapatasi
dengan gaya mengajar seorang guru.
Tahap Formal Operasional‐ Usia 11 tahun ke atas
Remaja berpikir lebih abstrak, logis, dan lebih ideal.
8
Pada masa kini, setiap orang yang menjadi orangtua atau bekerja dalam bidang
pendidikan harus sadar dengan adanya keragaman manusia dan harus berbuat lebih dari
sekedar mengetahui adanya perbedaan di antara anggota keluarga dan siswa-siwa di kelas.
Para guru dan pendidik harus mengetahui keragaman gaya belajar di antara manusia, baik
muda maupun tua. Pada masa sekarang, ketika pendidikan massal merupakan suatu
kelaziman, perkataan lama yang sudah sering diucapkan oleh para guru sekolah menengah:
”Kami tahu apa yang baik untuk siswa kami” dan “metode kami telah terbukti berhasil
selama bertahun-tahun”—justru menghambat para pendidik untuk belajar lebih jauh tentang
kebutuhan belajar individual. Apabila para guru ingin berhasil merangkul seluruh siswanya,
mereka harus mempertimbangkan adanya perbedaan gaya, bukan hanya dalam strategi
pengajaran setiap hari melainkan juga dalam persiapan mengajar.
Ketika siswa di kelas dapat memperoleh pengalaman saat individualitas mereka diterima
dan dibiarkan, bahkan didorong belajar dengan “cara mereka” sendiri, maka hasilnya adalah
motivasi meningkat, tugas sekolah menjadi lebih menyenangkan, keterampilan belajar
membaik. Dan dengan perkembangan-perkembangan positif ini penghargaan diri mereka
pun meningkat.
Saat ini, kegiatan belajar di sekolah sudah banyak bergeser dan berubah. Hasil
penelitian dari ahli otak dan pendidik pernah menyatakan bahwa “proses belajar yang paling
komprehensif adalah dengan meniadakan ancaman, mengorkestrasi secara cermat strategistrategi
pengajaran multidimensi, pengalaman-pengalaman dalam kehidupan nyata dan
pemahaman tentang penghalang-penghalang belajar.
Mereka mengungkapkan beberapa rahasia penelitian otak yang sesuai dengan proses
belajar dan mengajar:
Belajar melibatkan seluruh sistem tubuh
Kita memproses banyak fungsi secara simultan
Kebutuhan untuk mendapatkan alasan logis dari pengalaman kita sudah menjadi
sifat bawaan manusia.
Kita belajar dari apa yang kita alami dan apa yang diberitahukan kepada kita.
Emosi tidak bisa dipisahkan dari proses berpikir dan sangat penting bagi ingatan.
Kita menyerap semua informasi, baik yang sambil lalu maupun yang terfokus.
Kita akan belajar dengan lebih baik apabila ditantang tetapi tidak merasa
terancam.
Semua indra dan emosi-emosi dasar terintegrasi secara berbeda-beda—masingmasing
diri kita adalah unik.
Hal yang tidak kalah pentingnya dalam proses belajar terkait dengan penyerapan materi
adalah gaya belajar peserta didik itu sendiri.
Gaya Belajar
Gaya belajar didefinisikan sebagai:
“…the development of autonomous flexibility in adopting learning approaches
appropriate to particular study tasks and learning intentions and the emancipation of
students from habitual and limiting approaches.”
(Gibbs, Morgan & Taylor, 1980 dalam Slavin, 1994)
9
Dapat disimpulkan, bahwa gaya belajar merupakan kecenderungan siswa untuk
mengadaptasi strategi tertentu dalam belajarnya sebagai bentuk tanggung jawabnya untuk
mendapatkan satu pendekatan belajar yang sesuai dengan tuntutan belajar di kelas/sekolah
maupun tuntutan dari mata pelajaran. Siswa akan belajar dengan gaya belajar yang
berbeda-beda. Dalam menemukan cara untuk mengatasi gaya belajar adalah menentukan
bagaimana menyerap informasi dengan mudah yang disebut sebagai modalitas belajar.
(DePorter,1992 dalam http://issuu.com/ilmuikhlas/docs/jurnal_puskat_edisi_2/60).
Salah satu modalitas belajar berdasarkan The VARK Categories yang dipublikasikan
dalam http://www.vark-learn.com/english/page.asp?p=categories, disimpulkan modalitas
indrawi yang digunakan untuk mempelajari informasi dapat berupa Visual, Auditori,
Read/Write (membaca/menulis), dan Kinestetik. Fleming dan Mills (1992) mengajukan
empat kategori tersebut sebagai berikut:
Visual (V)
Kecenderungan ini mencakup menggambarkan informasi dalam bentuk peta,
diagram, grafik, flow chart, dan simbol visual seperti panah, lingkaran, hirarki dan materi lain,
yang digunakan instruktur untuk merepresentasikan hal-hal yang dapat disampaikan dalam
kata-kata. Hal ini mencakup juga desain, pola, bentuk dan format lain yang digunakan untuk
menandai dan menyampaikan informasi.
Aural / Auditory (A)
Modalitas ini menggambarkan preferensi terhadap informasi yang “didengar atau
diucapkan”. Siswa dengan modalitas ini belajar secara maksimal dari ceramah, tutorial,
tape, diskusi kelompok, bicara, dan membicarakan materi. Hal ini mencakup berbicara
dengan suara keras atau bicara kepada diri sendiri.
Read/Write (R)
Preferensi ini adalah untuk informasi yang ditampilkan dalam bentuk kata-kata.
Preferensi ini menekankan pada input berupa teks dan output berupa bacaan atau tulisan
dalam segala bentuknya. Orang yang memiliki modalitas ini menyukai power point, daftar,
kamus, dan bentuk kata-kata lainnya.
Kinesthetic (K)
Berdasarkan definisi, modalitas ini mengarah pada pengalaman dan latihan (simulasi
atau nyata, meskipun pengalaman tersebut melibatkan modalitas lain. Hal ini mencakup
demonstrasi, simulasi, video dan film dari pelajaran yang sesuai aslinya, sama halnya
dengan studi kasus, latihan, dan aplikasi.
Bagan ciri-ciri belajar Visual, Auditori, Kinestetik (Rose,1987)
Visual Auditori Read/write (R) Kinestetik
menonton televisi, menonton film,
memperhatikan ekspresi wajah
ketika berbicara
Suka mendengarkan radio, musik,
sandiwara-drama, atau lakon,
debat, suka cerita yang dibacakan
kepadanya dengan berbagai
ekspresi.
Suka membaca, mengisi TTS,
lebih suka membaca ketimbang
dibacakan,
Menyukai kegiatan aktif, baik
sosial maupun olah raga, seperti
manari dan lintas alam.
Mengingat orang melalui
penglihatan
Ingat dengan baik nama orang,
bagus dalam mengingat fakta,
suka berbicara dan punya
perbendaharaan kata luas.
mengingat kata-kata dengan
melihat dan biasanya bagus
dalam mengeja
Ingat kejadian-kejadian atau halhal
yang terjadi.
Kalau memberi atau menerima
penjelasan arah lebih suka
memakai peta/gambar
Menerima atau memberikan
penjelasan arah dengan katakata.
Senang menerima instruksi
secara verbal
Memberi dan menerima
penjelasan arah dengan
menggunakan instruksi tertulis.
Memberi dan menerima
penjelasan arah dengan mengikuti
jalan yang dimaksud
Menyatakan emosi melalui
ekspresi muka
Mengungkapkan emosi secara
verbal melalui perubahan nada
bicara atau vokal
Menyatakan emosi melalui tulisan,
seperti surat, puisi atau cerita.
Mengungkapkan emosi melalui
bahasa tubuh-gerak / nada otot
Aktivitas kreatif: menggambar,
melukis, merancang (mendesain),
melukis di udara
Aktivitas kreatif: menyanyi,
mendongeng (mengobrol apa
saja), bermain musik, berdebat,
membuat cerita lucu, berfilosofi
Aktivitas kreatif: menulis Aktivitas kreatif: kerajinan tangan,
berkebun, menari, berolah raga
Menangani proyek dengan Menangani proyek dengan Mengorganisasikan rencara Menangani proyek langkah demi
10
Visual Auditori Read/write (R) Kinestetik
merencanakan sebelumnya.
Berorientasi detail
berpijak pada prosedur,
memperdebatkan masalah,
mangatasi solusi verbal.
permainan dengan menghimpun
daftarnya terlebih dahulu.
langkah, suka menggulung lengan
bajunya dan terlibat secara fisik
Cenderung berbicara cepat tetapi
mungkin cukup pendiam di dalam
kelas.
Berbicara dengan kecepatan
sedang, suka bicara bahkan di
dalam kelas.
Cenderung menyampaikan
melalui tulisan.
Berbicara agak lambat.
Berhubungan dengan orang lain
lewat kontak mata dan ekspresi
wajah
Berhubungan dengan orang lain
lewat dialog, diskusi terbuka.
Berhubungan dengan orang lain
melalui tulisan, misalnya surat.
Berhubungan dengan orang lain
lewat kontak fisik,
mendekat/akrab, menyentuh
Saat diam suka melamun atau
menatap angkasa.
Saat diam suka bercakap-cakap
dengan dirinya sendiri.
Saat diam suka membaca. Saat diam, merasa gelisah, tidak
bisa duduk tenang.
Menjalankan bisnis atas dasar
hubungan personal antar wajah
Suka menjalankan bisnis melalui
telepon.
Menjalankan bisnis atas dasar
perjanjian atau keterangan tertulis.
Suka melakukan urusan seraya
melakukan sesuatu.
Punya ingatan visual bagus, ingat
dimana meninggalkan sesuatu
beberapa hari yang lalu.
Cenderung mengingat dengan
baik kata-kata denan gagasan
yang pernah diucapkan.
Mengingat tulisan yang terdapat di
buku / catatan.
Ingat lebih baik menggunakan alat
bantu belajar tiga dimensi.
Merespon lebih baik ketika anda
perlihatkan sesuatu ketimbang
cerita tentangnya
Merespom lebih baik tatkala
mendengar informasi ketimbang
membaca.
Merespon lebih baik ketika
diperlihatkan materi yang sarat
dengan tulisan.
Belajar konsep lebih baik dengan
menangani objek secara fisik.
TIPE VISUAL
Media/bahan yang cocok:
Guru yang menggunakan bahasa tubuh atau gambar dalam menerangkan.
Media gambar, video, poster dan sebagainya.
Buku yang banyak mencantumkan diagram atau gambar
Flow chart
Grafik
Menandai bagian-bagian yang penting dari bahan ajar dengan menggunakan warna
yang berbeda
Simbol-simbol visual
Strategi belajar:
Mengganti kata-kata dengan simbol atau gambar
TIPE AUDITORI
Media/bahan yang cocok:
Menghadiri kelas
Diskusi
Membahas suatu topik bersama dengan teman
Membahas suatu topik bersama dengan guru
Menjelaskan ide-ide baru kepada orang lain
Menggunakan perekam
Mengingat cerita, contoh, atau lelucon yang menarik
Menjelaskan bahan yang didapat secara visual (gambar, power point, dsb.)
Strategi belajar:
Catatan yang Anda buat mungkin sangat tidak memadai. Tambahkan informasi yang
didapat dengan cara berbicara dengan orang lain dan mengumpulkan catatan dari
buku.
Rekam ringkasan dari catatan yang dibuat dan dengarkan rekaman tersebut
Minta orang lain untuk ‘mendengar’ pemahaman Anda mengenai suatu topik
Baca buku atau catatan dengan keras
TIPE BACA/TULIS:
Media/bahan yang cocok:
Kamus
11
Handout
Buku teks
Catatan
Daftar
Essay
Membaca buku manual
Strategi belajar:
Tuliskan kata-kata secara berulang-ulang
Baca catatan Anda (dengan sunyi) secara berkali-kali
Tulis kembali ide atau informasi dengan kalimat yang berbeda
Terjemahkan semua diagram, gambar, dan sebagainya ke dalam kata-kata
TIPE KINESTETIK
Media/bahan yang cocok:
Menggunakan seluruh panca indera – penglihatan, sentuhan, pengecap, penciuman,
pendengaran.
Laboraturium
Kunjungan lapangan
Pembicara yang memberikan contoh kehidupan nyata
Pengaplikasian
Pameran, sampel, fotografi
Koleksi berbagai macam tumbuhan, serangga, dan sebagainya
Strategi belajar:
Anda akan mengingat kejadian nyata yang terjadi
Masukan berbagai macam contoh untuk memudahkan dalam mengingat konsep
Gunakan benda-benda untuk mengilustrasikan ide
Kembali ke laboraturium, atau tempat Anda dapat melakukan eksprimen
Mengingat kembali mengenai eksperimen, kunjungan lapangan, dan sebagainya.
Penelitian di Amerika, Jepang, Hongkong pada anak kelas 5 – 12 menunjukkan hasil
kecenderungan belajar sebagai berikut: Visual = 29 %, Auditori = 34 %, Kinestetik = 37 %.
Ketika mereka mencapai usia dewasa, visual cenderung menjadi dominan. Berdasarkan
studi yang dilakukan oleh Universitas of Wisconsin, bila alat bantu visual digunakan untuk
mengajarkan perbendaharaan kata maka peningkatan kemampuan peserta sampai 200%.
Dilihat dari hasil penelitian tersebut sebaiknya guru juga harus lebih aktif dalam
menggunakan metode pengajaran yang tepat untuk bisa mengakomodir semua modalitas
belajar siswa baik secara visual, auditori, maupun kinestetik sehingga penyerapan materi
lebih efektif. Beberapa metode pengajaran yang dikembangkan selama ini lebih mengacu
pada hanya satu modalitas saja sehingga terkadang menjadi kurang efektif karena hanya
memfasilitasi segelintir siswa saja. Seperti metode ceramah dalam bentuk penjelasan materi
tanpa disertai alat peraga, hanya akan memfasilitasi siswa yang memiliki modalitas auditori
sedangkan bila disertai alat peraga bisa memfasilitasi siswa yang memiliki modalitas visual.
Namun, cara tersebut kurang bisa memfasilitasi siswa yang memiliki modalitas kinestetik.
Untuk itu, guru juga perlu mengembangkan metode mengajar yang efektif dikaitkan dengan
kebutuhan peserta didiknya dari aspek perkembangan usia, kognitif, dan gaya belajar
sehingga kegiatan belajar menjadi lebih efektif dan optimal.
12
Daftar Pustaka
De Porter, B & Hernacki, M. (1992). Quantum Learning: Membiasakan belajar nyaman dan
menyenangkan. New York: Dell Publishing.
Desmita. (2009). Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Prashnig, B. (2007). The Power of Learning Styles. Jakarta: Kaifa.
Slavin, R.E. (1994). Educational Psychology (Theory & Practice). Massachussetts: Allyn and
Bacon.
http://issuu.com/ilmuikhlas/docs/jurnal_puskat_edisi_2/60
http://www.vark-learn.com/english/page.asp?p=categories