SELAMAT DATANG DIBLOG AHMAD BASUKI

Blog Archive

ILM AL-BAYÂN

‎‘Ilm al-bayân didefinisikan oleh al-Hâsyimiy sebagai dasar-dasar dan kaidah-kaidah ‎untuk mengetahui ragam ungkapan terhadap suatu makna yang dapat menghiasi ‎perkataan itu sendiri. Lebih jauh ia mengungkap, ‘ilm al-bayân adalah: Dasar-dasar dan ‎kaidah-kaidah yang mempelajari tentang cara mendatangkan suatu pengertian dengan ‎cara yang berbeda satu sama lainnya dalam menjelaskan dalâlah ‘aqliyah (makna logis) ‎terhadap makna itu sendiri.‎ ‎ Dalam sumber lain dikatakan bahwa ‘ilm al-bayân adalah ‎ilmu untuk mengetahui tentang cara mendatangkan satu pengertian yang dimaksud ‎dengan perkataan yang sesuai dengan tuntutan keadaan dan dengan gaya bahasa yang ‎berbeda dalam menjelaskan maksudnya.‎
Dan sebagian yang lain mengatakan sebagaimana dikutip Lâsyîn: ‘Ilm al-bayân ‎adalah ilmu yang mempelajari tentang al-tasybîh, al-majâz dan al-kinâyah.‎
    Mayoritas ahli balâghah sepakat atas ruang lingkup kajian al-bayân yang terbagi ‎menjadi tiga macam gaya bahasa pokok; (1) uslûb al-tasybîh, (2) uslûb al-majâz, dan (3) ‎uslûb al-kinâyah. Selain ketiga tersebut, masih ada yang lain yaitu; uslûb al-istiâ‘rah, ‎dan uslûb al-ta’rîd.‎

‎1) uslûb al-tasybîh (gaya bahasa simile)‎
    Secara etimologis, al-tasybîh berarti al-tamtsîl (penyerupaan). Sedangkan secara ‎terminologis adalah menyerupakan antara dua perkara atau lebih yang memiliki ‎kesamaan sifat (satu atau lebih) dengan suatu alat: karena ada tujuan yang dikehendaki ‎oleh pembicara.‎
    al-Tasybîh adalah elemen penting dalam ‘ilm al bayân yang memiliki empat ‎unsur utama (al-arkân) yaitu; al-musyabbah (sesuatu yang diperbandingkan), al-‎musyabbah bih (obyek perbandingan), wajh al-syibh (alasan perbandingan), dan adât al-‎tasybîh (perangkat perbandingan). Sedangkan al-musyabbah dan al-musyabbah bih ‎disebut dengan dua tarf al-tasybîh, yaitu dua pilar yang harus ada dalam sebuah ‎ungkapan kalimat yang berbentuk al-tasybîh. Jika salah satu tidak ada dalam ungkapan ‎kalimat tadi, maka tidak akan terjadi al-tasybîh di dalamnya.‎
al-Tasybîh ditinjau dari dua tarfnya terbagi menjadi tiga macam,‎ ‎ yaitu; ‎
‎1) hissiyyân, yaitu kedua tarfnya dapat diketahui melalui salah satu indera yang ‎lima (pendengaran, penglihatan, penciuman, raba, dan rasa), contoh dalam sûrah ‎al-Rahmân (55)  ayat 58; “ Seakan-akan  bidadari itu permata yakut dan marjan”.‎
‎2) ‘aqliyyân, yaitu kedua tarfnya dapat diketahui melalui akal atau psikis (gembira, ‎marah, ridho, dan sebagainya), seperti penyerupaan ilmu sebagai kehidupan, ‎kebodohan sebagai kematian, dan sebagainya. ‎
‎3) mukhtalifân, yaitu apabila salah satu tarfnya dapat diketahui dengan indera dan ‎tarfnya yang lain dapat diketahui dengan akal atau psikis. Seperti penyerupaan ‎nafsu syahwat sebagai binatang buas.‎

    Ahmad Badawiy mengatakan bahwa fungsi al-tasybîh adalah “al-wudûh dan al-‎ta′tsîr”,‎ ‎ yakni memperjelas makna serta memperkuat maksud dari suatu ungkapan, ‎sehingga orang yang mendengarkan (mukhâtab) suatu pembicaraan bisa merasakan ‎seperti pengalaman psikologis si pembicara. Penyair Arab jâhiliyah sangat bangga ‎dengan ungkapan-ungkapan al-tasybîh, oleh karena itu dalam persoalan-persoalan ‎eskatologis, al-Qur′ân seringkali menggunakan bahasa metaforis yang diungkapkan ‎dalam bentuk gaya bahasa al-tasybîh, untuk bisa mempertemukan antara ikatan ‎emosional dan pemahaman kognitif sehingga seseorang dimungkin mampu mengetahui ‎dan merasakan sesuatu yang berada jauh di belakang teks-teks al-Qur′ân tersebut. ‎Bahkan Lasyîn mengungkap bahwa al-tasybîh yang digunakan dalam al-Qur′ân lebih ‎kekal dan abadi dari apa yang digunakan para penyair-penyair Arab tersebut.‎ Contoh ‎bagaimana al-Qur′ân menggambarkan hari kiamat?, di situ ditampilkan suara derap ‎pasukan berkuda yang gagah yang siap melumatkan musuh, dan sebagainya.‎
    Bila ditinjau dari wajh al-syibhnya, al-tasybîh terbagi menjadi dua;‎ ‎ pertama, al-‎tasybîh al-tamtsîliy, yaitu apabila wajh syibhnya diambil dari dua aspek atau lebih, ‎contoh dalam sûrah al-Jumu‘ah/ 62: 5: “Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan ‎kepadanya Taurât, kemudian mereka tidak mengamalkannya adalah seperti keledai yang ‎membawa kitab-kitab tebal”. Kedua, al-tasybîh ghair al-tamtsîliy, yaitu yang wajh ‎syibhnya diambil dari satu aspek.‎
    Selain pembagian di atas, al-tasybîh terbagi pula kepada; 1) al-tasybîh al-dimniy, ‎‎2) al-tasybîh al-sarîh, dan 3) al-tasybîh al-maqlûb. Ada juga pembagian lain yakni; al-‎tasybîh al-mursal, al-tasybîh al-mu′akkad, al-tasybîh al-mujmal, al-tasybîh al-mufassal, ‎al-tasybîh al-balîgh.‎

‎2) uslûb al-majâz (gaya bahasa metafora)‎
    Konsep majâz pertama kali dibicarakan oleh Abû ‘Ubaidah dalam bukunya ‎Majâz al-Qur′ân, namun makna majâz yang diutarakan tidaklah sebagaimana yang ‎dikenal oleh para ahli al-ma‘âniy saat ini, majâz yang dimaksud adalah penjelas suatu ‎kata dan penafsiran maknanya, sebagaimana ketika ia menjelaskan  kata ‘istawâ” pada ‎sûrah Tâhâ ayat 5 dan kata “jinnah” pada sûrah al-Mu′minûn ayat 25.‎ ‎ Dan pembahasan ‎al- majâz tidak terlepas dari pembahasan al-haqîqah, menurut al-Jurjâniy, al-majâz ‎adalah kebalikan al-haqîqah. Mayoritas ahli balâghah mengatakan bahwa al-haqîqah ‎adalah sebuah kata yang mengacu kepada makna asal atau makna dasar,‎ tanpa ‎mengundang kemungkinan makna lain. Sedang al-majâz adalah sebuah kata yang ‎digunakan tidak mengacu kepada makna hakekat karena adanya suatu hubungan ‎disertai indikator yang melarang menggunakan makna hakekat tersebut,‎ atau dengan ‎kata lain perpindahan makna dasar ke makna lainnya, atau pelebaran medan makna dari ‎makna dasar karena ada alasan tertentu. Secara teoritik, majâz adalah peralihan makna ‎dari leksikal menuju literer, atau dari yang denotatif menuju yang konotatif karena ada ‎alasan-alasan tertentu.‎
    al-Majâz terbagi dua; 1) majâz ‘aqliy, dan 2) majâz lughawiy. Majâz ‘aqliy ‎adalah menjadikan fi‘l (kata kerja) atau yang sejenisnya sebagai makna dasar yang ‎bukan seharusnya karena ada kaitan disertai indikator yang mencegah untuk dijadikan ‎makna dasar seharusnya. Sedangkan majâz lughawiy adalah lafal yang dipakai bukan ‎pada makna dasar karena ada ‘alaqah (kaitan) disertai indikator yang mencegah untuk ‎menggunakan makna dasar itu.‎
    Mayoritas ahli balâghah mengatakan bahwa bila kaitan antara arti hakekat dan ‎majâz adalah adanya keserupaan (musyâbahah) maka disebut isti‘ârah, bila kaitan antara ‎keduanya tidak ada keserupaan (ghair musyâbahah) maka disebut al-majâz al-mursal.‎
    Dengan demikian majâz lughawiy terbagi dua, yakni majâz mursal dan isti‘ârah. ‎Majâz mursal adalah kata yang dipakai bukan pada makna dasar karena adanya ‎‎‘alaqah yang bukan keserupaan (musyâbahah) disertai adanya indikator yang mencegah ‎untuk menggunakan makna dasar tersebut. Sedangkan ‘alaqah pada majâz mursal ‎berupa; al-sababiyah, al-musabbabiyah, al-juz′iyah, al-kulliyah, al-mahalliyah, dan al-‎hâliyah.‎

‎3) uslûb al-isti‘ârah (peminjaman kata)‎
    Konsep isti‘ârah sebenarnya bermuara dari bentuk gaya bahasa tasybîh, dan gaya ‎bahasa isti‘ârah adalah ungkapan tasybîh yang paling tinggi.‎ Menurut mayoritas ahli ‎balâghah gaya bahasa isti‘ârah mempunyai tiga unsur; 1) musta‘âr lah (musyabbah), 2) ‎musta‘âr minhu (musyabbah bih), dan 3) musta‘âr (kata yang dipinjam). Contoh dalam ‎sûrah al-A‘râf/ 6: 157; “Dan mereka mengikuti cahaya (nûr) yang terang yang ‎diturunkan kepadanya (al-Qur′ân), mereka itulah orang-orang yang beruntung”.‎
    Kata “nûr” di sini dipinjam untuk memperjelas misi dan pesan kenabian, karena ‎keduanya memiliki fungsi meyakinkan, menghilangkan, serta menepis keraguan atas ‎kebenaran misi kenabian tersebut. Jadi maksud kata “al-nûr” adalah kehadiran Nabi ‎Muhammad saw.‎

‎4) uslûb al-kinâyah (gaya bahasa mitonimie)‎
    al-Kinâyah adalah mengungkapkan kata, tetapi yang dimaksud bukan makna ‎dari kata itu, sekalipun bisa dibenarkan kalau dipahami sesuai dengan makna dasarnya. ‎Misalnya dalam peribahasa Arab dikatakan “ ‎اليد الطويلة‎ atau tangan panjang”, di ‎kalangan orang Arab sangat populer istilah ini untuk menyebut kepada seseorang yang ‎suka memberi atau membantu (sebagai kinâyah). Tetapi kalau istilah ini dipahami ‎sebagai tangan yang panjang, sesuai dengan makna dasarnya juga tidak salah, inilah ‎yang disebut al-kinâyah.‎
    al-Kinâyah berbeda dengan al-ta‘rîd. Secara etimologis, al-ta‘rîd adalah “didd al-‎tasrîh” atau “lawan dari terus terang”. Sedangkan secara terminologis, al-ta‘rîd adalah ‎makna yang dihasilkan ketika diucapkan dengan suatu lafa,l tetapi yang dimaksud bukan ‎lafal itu, melainkan konteks pembicaraan dan indikator-indikator situasi atau kondisi. ‎Misalnya ketika wanita sedang pada masa ‘iddah (karena cerai atau suaminya ‎meninggal), maka tidak boleh seseorang memintanya untuk menikah kepadanya ‎meskipun dengan gaya bahasa majâz atau kinâyah, tetapi dalam hal ini boleh ‎menggunakan gaya bahasa al-ta‘rîd seperti ungkapan “ sungguh aku sedang ‎membutuhkan orang yang mendampingi hidupku, atau sungguh engkau adalah wanita ‎yang shalehah”, inilah al-ta‘rîd.‎