‘Ilm al-bayân didefinisikan oleh al-Hâsyimiy sebagai dasar-dasar dan kaidah-kaidah untuk mengetahui ragam ungkapan terhadap suatu makna yang dapat menghiasi perkataan itu sendiri. Lebih jauh ia mengungkap, ‘ilm al-bayân adalah: Dasar-dasar dan kaidah-kaidah yang mempelajari tentang cara mendatangkan suatu pengertian dengan cara yang berbeda satu sama lainnya dalam menjelaskan dalâlah ‘aqliyah (makna logis) terhadap makna itu sendiri. Dalam sumber lain dikatakan bahwa ‘ilm al-bayân adalah ilmu untuk mengetahui tentang cara mendatangkan satu pengertian yang dimaksud dengan perkataan yang sesuai dengan tuntutan keadaan dan dengan gaya bahasa yang berbeda dalam menjelaskan maksudnya.
Dan sebagian yang lain mengatakan sebagaimana dikutip Lâsyîn: ‘Ilm al-bayân adalah ilmu yang mempelajari tentang al-tasybîh, al-majâz dan al-kinâyah.
Mayoritas ahli balâghah sepakat atas ruang lingkup kajian al-bayân yang terbagi menjadi tiga macam gaya bahasa pokok; (1) uslûb al-tasybîh, (2) uslûb al-majâz, dan (3) uslûb al-kinâyah. Selain ketiga tersebut, masih ada yang lain yaitu; uslûb al-istiâ‘rah, dan uslûb al-ta’rîd.
1) uslûb al-tasybîh (gaya bahasa simile)
Secara etimologis, al-tasybîh berarti al-tamtsîl (penyerupaan). Sedangkan secara terminologis adalah menyerupakan antara dua perkara atau lebih yang memiliki kesamaan sifat (satu atau lebih) dengan suatu alat: karena ada tujuan yang dikehendaki oleh pembicara.
al-Tasybîh adalah elemen penting dalam ‘ilm al bayân yang memiliki empat unsur utama (al-arkân) yaitu; al-musyabbah (sesuatu yang diperbandingkan), al-musyabbah bih (obyek perbandingan), wajh al-syibh (alasan perbandingan), dan adât al-tasybîh (perangkat perbandingan). Sedangkan al-musyabbah dan al-musyabbah bih disebut dengan dua tarf al-tasybîh, yaitu dua pilar yang harus ada dalam sebuah ungkapan kalimat yang berbentuk al-tasybîh. Jika salah satu tidak ada dalam ungkapan kalimat tadi, maka tidak akan terjadi al-tasybîh di dalamnya.
al-Tasybîh ditinjau dari dua tarfnya terbagi menjadi tiga macam, yaitu;
1) hissiyyân, yaitu kedua tarfnya dapat diketahui melalui salah satu indera yang lima (pendengaran, penglihatan, penciuman, raba, dan rasa), contoh dalam sûrah al-Rahmân (55) ayat 58; “ Seakan-akan bidadari itu permata yakut dan marjan”.
2) ‘aqliyyân, yaitu kedua tarfnya dapat diketahui melalui akal atau psikis (gembira, marah, ridho, dan sebagainya), seperti penyerupaan ilmu sebagai kehidupan, kebodohan sebagai kematian, dan sebagainya.
3) mukhtalifân, yaitu apabila salah satu tarfnya dapat diketahui dengan indera dan tarfnya yang lain dapat diketahui dengan akal atau psikis. Seperti penyerupaan nafsu syahwat sebagai binatang buas.
Ahmad Badawiy mengatakan bahwa fungsi al-tasybîh adalah “al-wudûh dan al-ta′tsîr”, yakni memperjelas makna serta memperkuat maksud dari suatu ungkapan, sehingga orang yang mendengarkan (mukhâtab) suatu pembicaraan bisa merasakan seperti pengalaman psikologis si pembicara. Penyair Arab jâhiliyah sangat bangga dengan ungkapan-ungkapan al-tasybîh, oleh karena itu dalam persoalan-persoalan eskatologis, al-Qur′ân seringkali menggunakan bahasa metaforis yang diungkapkan dalam bentuk gaya bahasa al-tasybîh, untuk bisa mempertemukan antara ikatan emosional dan pemahaman kognitif sehingga seseorang dimungkin mampu mengetahui dan merasakan sesuatu yang berada jauh di belakang teks-teks al-Qur′ân tersebut. Bahkan Lasyîn mengungkap bahwa al-tasybîh yang digunakan dalam al-Qur′ân lebih kekal dan abadi dari apa yang digunakan para penyair-penyair Arab tersebut. Contoh bagaimana al-Qur′ân menggambarkan hari kiamat?, di situ ditampilkan suara derap pasukan berkuda yang gagah yang siap melumatkan musuh, dan sebagainya.
Bila ditinjau dari wajh al-syibhnya, al-tasybîh terbagi menjadi dua; pertama, al-tasybîh al-tamtsîliy, yaitu apabila wajh syibhnya diambil dari dua aspek atau lebih, contoh dalam sûrah al-Jumu‘ah/ 62: 5: “Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurât, kemudian mereka tidak mengamalkannya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab tebal”. Kedua, al-tasybîh ghair al-tamtsîliy, yaitu yang wajh syibhnya diambil dari satu aspek.
Selain pembagian di atas, al-tasybîh terbagi pula kepada; 1) al-tasybîh al-dimniy, 2) al-tasybîh al-sarîh, dan 3) al-tasybîh al-maqlûb. Ada juga pembagian lain yakni; al-tasybîh al-mursal, al-tasybîh al-mu′akkad, al-tasybîh al-mujmal, al-tasybîh al-mufassal, al-tasybîh al-balîgh.
2) uslûb al-majâz (gaya bahasa metafora)
Konsep majâz pertama kali dibicarakan oleh Abû ‘Ubaidah dalam bukunya Majâz al-Qur′ân, namun makna majâz yang diutarakan tidaklah sebagaimana yang dikenal oleh para ahli al-ma‘âniy saat ini, majâz yang dimaksud adalah penjelas suatu kata dan penafsiran maknanya, sebagaimana ketika ia menjelaskan kata ‘istawâ” pada sûrah Tâhâ ayat 5 dan kata “jinnah” pada sûrah al-Mu′minûn ayat 25. Dan pembahasan al- majâz tidak terlepas dari pembahasan al-haqîqah, menurut al-Jurjâniy, al-majâz adalah kebalikan al-haqîqah. Mayoritas ahli balâghah mengatakan bahwa al-haqîqah adalah sebuah kata yang mengacu kepada makna asal atau makna dasar, tanpa mengundang kemungkinan makna lain. Sedang al-majâz adalah sebuah kata yang digunakan tidak mengacu kepada makna hakekat karena adanya suatu hubungan disertai indikator yang melarang menggunakan makna hakekat tersebut, atau dengan kata lain perpindahan makna dasar ke makna lainnya, atau pelebaran medan makna dari makna dasar karena ada alasan tertentu. Secara teoritik, majâz adalah peralihan makna dari leksikal menuju literer, atau dari yang denotatif menuju yang konotatif karena ada alasan-alasan tertentu.
al-Majâz terbagi dua; 1) majâz ‘aqliy, dan 2) majâz lughawiy. Majâz ‘aqliy adalah menjadikan fi‘l (kata kerja) atau yang sejenisnya sebagai makna dasar yang bukan seharusnya karena ada kaitan disertai indikator yang mencegah untuk dijadikan makna dasar seharusnya. Sedangkan majâz lughawiy adalah lafal yang dipakai bukan pada makna dasar karena ada ‘alaqah (kaitan) disertai indikator yang mencegah untuk menggunakan makna dasar itu.
Mayoritas ahli balâghah mengatakan bahwa bila kaitan antara arti hakekat dan majâz adalah adanya keserupaan (musyâbahah) maka disebut isti‘ârah, bila kaitan antara keduanya tidak ada keserupaan (ghair musyâbahah) maka disebut al-majâz al-mursal.
Dengan demikian majâz lughawiy terbagi dua, yakni majâz mursal dan isti‘ârah. Majâz mursal adalah kata yang dipakai bukan pada makna dasar karena adanya ‘alaqah yang bukan keserupaan (musyâbahah) disertai adanya indikator yang mencegah untuk menggunakan makna dasar tersebut. Sedangkan ‘alaqah pada majâz mursal berupa; al-sababiyah, al-musabbabiyah, al-juz′iyah, al-kulliyah, al-mahalliyah, dan al-hâliyah.
3) uslûb al-isti‘ârah (peminjaman kata)
Konsep isti‘ârah sebenarnya bermuara dari bentuk gaya bahasa tasybîh, dan gaya bahasa isti‘ârah adalah ungkapan tasybîh yang paling tinggi. Menurut mayoritas ahli balâghah gaya bahasa isti‘ârah mempunyai tiga unsur; 1) musta‘âr lah (musyabbah), 2) musta‘âr minhu (musyabbah bih), dan 3) musta‘âr (kata yang dipinjam). Contoh dalam sûrah al-A‘râf/ 6: 157; “Dan mereka mengikuti cahaya (nûr) yang terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur′ân), mereka itulah orang-orang yang beruntung”.
Kata “nûr” di sini dipinjam untuk memperjelas misi dan pesan kenabian, karena keduanya memiliki fungsi meyakinkan, menghilangkan, serta menepis keraguan atas kebenaran misi kenabian tersebut. Jadi maksud kata “al-nûr” adalah kehadiran Nabi Muhammad saw.
4) uslûb al-kinâyah (gaya bahasa mitonimie)
al-Kinâyah adalah mengungkapkan kata, tetapi yang dimaksud bukan makna dari kata itu, sekalipun bisa dibenarkan kalau dipahami sesuai dengan makna dasarnya. Misalnya dalam peribahasa Arab dikatakan “ اليد الطويلة atau tangan panjang”, di kalangan orang Arab sangat populer istilah ini untuk menyebut kepada seseorang yang suka memberi atau membantu (sebagai kinâyah). Tetapi kalau istilah ini dipahami sebagai tangan yang panjang, sesuai dengan makna dasarnya juga tidak salah, inilah yang disebut al-kinâyah.
al-Kinâyah berbeda dengan al-ta‘rîd. Secara etimologis, al-ta‘rîd adalah “didd al-tasrîh” atau “lawan dari terus terang”. Sedangkan secara terminologis, al-ta‘rîd adalah makna yang dihasilkan ketika diucapkan dengan suatu lafa,l tetapi yang dimaksud bukan lafal itu, melainkan konteks pembicaraan dan indikator-indikator situasi atau kondisi. Misalnya ketika wanita sedang pada masa ‘iddah (karena cerai atau suaminya meninggal), maka tidak boleh seseorang memintanya untuk menikah kepadanya meskipun dengan gaya bahasa majâz atau kinâyah, tetapi dalam hal ini boleh menggunakan gaya bahasa al-ta‘rîd seperti ungkapan “ sungguh aku sedang membutuhkan orang yang mendampingi hidupku, atau sungguh engkau adalah wanita yang shalehah”, inilah al-ta‘rîd.